Menghormati Pendapat Haram Hormat Bendera, Upacara Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Akhir-akhir ini kita banyak mendengar kritikan-kritikan pedas bahkan celaan-celaan yang keras terhadap pihak-pihak yang tidak mau hormat bendera, upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Sangat disayangkan hal itu terjadi, karena yang mereka lakukan belum tentu bertentangan dengan ajaran agama, bahkan bisa jadi hal itulah yang sesuai dengan ajaran agama.

Justru perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama hampir tidak pernah terdengar adanya kritikan dan celaan, seperti banyaknya para peziarah kubur wali songo dan kuburan-kuburan “keramat” yang melakukan dosa terbesar dan tidak terampuni (jika tidak bertaubat sebelum mati), yaitu dosa syirik kepada Allah Ta’ala dengan mempersekutukan-Nya dalam ibadah doa. Mereka berdoa, memohon terkabulnya hajat-hajat mereka kepada wali songo.

Demikian pula banyaknya orang yang meninggalkan sholat, berbagai macam kebid’ahan dan kemungkaran tersebar di lembaga-lembaga formal maupun di masyarakat, namun semua itu seakan bukan sebuah masalah, sehingga tidak perlu dipermasalahkan.

Padahal, semua kemungkaran-kemungkaran itulah yang menyebabkan berbagai macam musibah menimpa suatu negeri. Allah Jalla wa ‘Ala telah memperingatkan:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”[Asy-Syuro: 30]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat di atas, “Musibah apapun yang menimpa kalian wahai manusia, penyebabnya tidak lain karena dosa-dosa yang kalian kerjakan.”[1]

Pembaca yang budiman, catatan ringkas berikut ini insya Allah Ta’ala mencoba memaparkan alasan-alasan ilmiah pihak-pihak yang mengharamkan hormat bendera, upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Harapan kami, pihak-pihak yang tidak setuju dengan perndapat tersebut dapat berlapang dada menerima perbedaan dan belajar menghormati pendapat orang lain, dan selanjutnya meninggalkan pendapatnya yang salah.

Karena seluruh dunia akan menertawakan, seandainya sebuah radio yang menyiarkan ceramah-ceramah agama demi memperbaiki masyarakat, atau sekolah yang dibangun susah payah sebagai lembaga pendidikan anak-anak bangsa, ditutup hanya gara-gara mempertahankan pendapat yang mereka yakini. Sebaliknya, media-media perusak masyarakat dengan menyebarkan syrik, gambar-gambar wanita telanjang dan berita-berita perselingkuhan malah dibiarkan, sedangkan sekolah-sekolah yang belum mampu mendidik dengan keteladanan malah tidak mendapatkan pembinaan.

Terlebih, jika pendapat haram yang mereka yakini didasarkan pada keyakinan agama yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan ulama, bukankah negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan ajaran agamanya?! Ataukah saat ini, ajaran agama harus disesuaikan dengan kemauan manusia, jika mereka setuju boleh dijalankan, jika tidak maka tidak boleh?!

Fatwa Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Mengharamkan Hormat Bendera, Upacara Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan

فتوى رقم ( 2123 ) :

س: هل يجوز الوقوف تعظيما لأي سلام وطني أو علم وطني؟

ج: لا يجوز للمسلم القيام إعظاما لأي علم وطني أو سلام وطني، بل هو من البدع المنكرة التي لم تكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا في عهد خلفائه الراشدين رضي الله عنهم، وهي منافية لكمال التوحيد الواجب وإخلاص التعظيم لله وحده، وذريعة إلى الشرك، وفيها مشابهة للكفار وتقليد لهم في عاداتهم القبيحة ومجاراة لهم في غلوهم في رؤسائهم ومراسيمهم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن مشابهتهم أو التشبه بهم.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم .

 اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس

عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Fatwa no. 2123:

Pertanyaan: Bolehkah berdiri dalam rangka menghormati lagu kebangsaan atau bendera negara?

Jawab: Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri dalam rangka penghormatan kepada bendera negara mana saja ataupun lagu kebangsaan, karena hal itu termasuk bid’ah yang mungkar yang tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin radhiyallahu’anhum. Hal itu juga menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib dan mengurangi murninya pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang satu saja, serta dapat mengantarkan kepada syirik, menyerupai orang-orang kafir, taklid kepada mereka dalam tradisi yang buruk dan sejalan dengan mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan simbol-simbol kepemimpinan, padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang kita menyerupai orang-orang kafir dengan sengaja ataupun tanpa sengaja meniatkan untuk menyerupai mereka.”

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik, dan semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita, juga keluarga dan sahabat beliau.

Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa

Ketua               :         Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Anggota           :         Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi

                                    Syaikh Abdullah bin Ghudayan

                                    Syaikh Abdullah bin Qu’ud

Sumber: Kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’, jilid 1 halaman 235.

Penjelasan

Pembaca yang budiman, fatwa di atas adalah fatwa ulama-ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari negeri haramain; Makkah dan Madinah yang diakui dunia akan keilmuan dan ketakwaan mereka. Dari fatwa di atas kita dapat mengetahui sebab-sebab haramnya perbuatan tersebut dengan lima alasan:

  1. Bid’ah yang Mungkar

Bid’ah artinya mengada-ada di dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan setiap bid’ah adalah kemungkaran, karena Nabi sahallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِىَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّار

“Barangsiapa yang Allah berikan hidayah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberinya hidayah. Sesungguhnya sebenar-benarnya ucapan adalah kitab Allah Ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.” [HR. An-Nasai][2]

Perbuatan bid’ah, alias mengada-ada dalam agama mencakup dua bentuk keterkaitan dengan agama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk kedua inilah barangkali dasar yang lebih tepat dari pendapat ulama yang mengatakan hormat bendera termasuk bid’ah, bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu ritual yang menyerupai ibadah (yang keterkaitannya tidak secara langsung dengan agama), bahkan lebih dari itu, terkadang seorang begitu khusyuknya ketika upacara bendera namun ketika ibadah kepada Allah Ta’ala dia tidak khusyuk.

Untuk dapat memahami masalah ini berikut penjelasan kaidah-kaidah ushul dalam mengenal bid’ah dari kitab Qawa’id Ma’rifatil Bida’, karya Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani hafizhahullah yang beliau kumpulkan dari penjelasan ulamaushuliyun:

Kaidah mengenal bid’ah pertama:

أن كل عمل – ولو كان مشروعًا – يُفضي إلى الإحداث في الدين فهو ملحق بالبدعة إن لم يكن بدعة

“Bahwa setiap amalan –meskipun disyari’atkan- yang bisa mengantarkan kepada bid’ah dalam agama maka dihukumi bid’ah walaupun asalnya bukan bid’ah (dalam agama).”[3]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

فإن ابُتدع شيء لا يخالف الشريعة ، ولا يوجب التعاطي عليها ؛ فقد كان جمهور السلف يكرونه ، وكانوا ينفرون من كل مبتدَع وإن كان جائزًا ؛ حفظًا للأصل ، وهو الإتباع

“Apabila muncul suatu bid’ah yang tidak menyelisihi syari’ah (yakni bukan bid’ah dalam agama, pen), tidak pula pasti menyebabkan penyelisihan terhadap syari’ah, maka mayoritas ulama Salaf membencinya, mereka juga memperingatkan dari setiap bid’ah (baik dalam agama ataupun pengantar kepada bid’ah, pen), meskipun hal itu boleh (karena bukan bid’ah dalam agama, baru berupa pengantar ke sana, pen). Salaf tetap melarang sebagai penjagaan terhadap prinsip agama yaitu ittiba’ (meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).”[4]

Kaidah mengenal bid’ah kedua:

إلزام الناس بفعل شيء من العادات والمعاملات ، وجعْل ذلك كالشرع الذي لا يُخالف ، والدين الذي لا يُعارض بدعة

“Mewajibkan manusia melakukan suatu kebiasaan dan mu’amalah (perkara duniawi seperti perdagangan dan lain-lain, pen), dengan menjadikan hal itu seperti syari’ah yang tidak bisa diselisihi dan bagaikan ajaran agama yang tidak bisa dilanggar adalah bid’ah.”[5]

Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah menjelaskan contoh kaidah di atas:

وضْع المكوس في معاملات الناس ، كالدِّين الموضوع والأمر المحتوم عليهم ، دائمًا أو في أوقات محدودة ، على كيفيات مضروبة ، بحيث تضاهي المشروع الدائم الذي يحمل عليه العامة ، ويؤخذون به ، وتوجه على الممتنع منه العقوبة ، كما في أخذ زكاة المواشي والحرث ، وما أشبه ذلك

“Menetapkan cukai/pajak dalam perdagangan, bagaikan sebuah aturan agama yang harus dibayarkan dan kewajiban yang harus ditunaikan (yakni menyerupai zakat, pen), karena dilakukan terus-menerus atau pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, dalam bentuk yang telah ditentukan, sehingga menyerupai ketentuan syari’ah yang ditetapkan dan diwajibkan atas manusia, dan dapat dikenakan sangsi bagi yang tidak mau melakukannya, seperti kewajiban zakat ternak, pertanian, dan yang semisalnya.”[6]

Kaidah mengenal bid’ah ketiga:

مشابهة الكافرين فيما كان من خصائصهم من عبادة أو عادة أو كليهما بدعة

“Menyerupai orang-orang kafir dalam ciri khusus mereka, apakah itu ibadah, kebiasaan ataupun keduanya adalah bid’ah.”[7]

Seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, Al-Hafizh Adz-Dzahabi Asy-Syafi’irahimahullah berkata:

أما مشابهة الذمة في الميلاد والخميس والنيروز فبدعة وحشة

“Adapun menyerupai orang-orang kafir dzimmi dalam perayaan ulang tahun, kamis suci (sebelum paskah dalam Nasrani, pen) dan perayaan Nairuz (hari besar Iran yang tidak diajarkan dalam Islam, pen) maka itu adalah bid’ah yang jelek.”[8]

Kaidah mengenal bid’ah keempat:

مشابهة الكافرين فيما أحدثوه مما ليس في دينهم من العبادات أو العادات أو كليهما بدعة

“Menyerupai orang-orang kafir dalam bid’ah mereka yang tidak diajarkan dalam agama mereka, apakah itu ibadah, kebiasaan ataupun keduanya adalah bid’ah.”[9]

Ulama besar dari mazhab Hanbali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata:

فإنه لو أحدثه المسلمون لقد كان يكون قبيحًا فكيف إذا كان مما لم يشرعه نبي قط ، بل أحدثه الكافرون ، فالموافقة فيه ظاهرة القبح ، فهذا أصل

“Sesungguhnya bid’ah itu sudah jelek apabila yang mengada-adakannya adalah kaum muslimin, maka bagaimana lagi jika bid’ah itu tidak pernah diajarkan oleh seorang nabi pun, melainkan bid’ah yang diada-adakan oleh orang kafir, maka menyerupai mereka dalam bid’ah itu jelas kejelekannya. Ini adalah prinsip.”[10]

Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang mubah atau urusan duniawi, seperti perayaan, seremonial dan muamalah dapat menjadi bid’ah karena empat sebab:

Pertama: Jika perbuatan itu dapat mengantarkan kepada bid’ah maka dihukumi bid’ah, walaupun hanya berupa perkiraan, bukan sebuah kepastian.

Kedua: Urusan duniawi yang pengamalannya menyerupai amalan agama juga termasuk bid’ah.

Ketiga: Menyerupai ciri khusus orang-orang kafir.

Keempat: Menyerupai bid’ah orang-orang kafir.

Barangkali inilah alasan-alasan para ulama yang berpendapat upacara bendera termasuk bid’ah.

  1. Mengurangi Kesempurnaan Tauhid dan Mengotori Murninya Pengagungan kepada Allah Ta’ala

Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala, baik ibadah zahir maupun batin. Pengagungan kepada Allah Ta’ala termasuk ibadah batin, bahkan itulah hakikat ibadah, yaitu penghambaan, pengagungan dan cinta kepada Allah Ta’ala. Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:

والعبادة بمفهومها العام هي التذلل لله محبة وتعظيماً بفعل أوامره واجتناب نواهيه على الوجه الذي جاءت به شرائعه

“Ibadah dalam arti yang umum adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pengagungan; menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan cara yang sesuai dengan syari’at-Nya.”[11]

Beliau juga menjelaskan hakikat tauhid:

التوحيد هو إفراد الله بالعبادة أي أن تعبد الله وحده لا تشرك به شيئاً، لا تشرك به نبياً مرسلاً، ولا ملكاً مقرباً ولا رئيساً ولا ملكاً ولا أحداً من الخلق، بل تفرده وحده بالعبادة محبة وتعظيماً، ورغبة ورهبة

“Tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, yaitu engkau beribadah hanya kepada Allah Ta’ala yang satu saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga; apakah dengan nabi yang diutus oleh-Nya, malaikat yang dekat dengan-Nya, ataukah dengan seorang pemimpin, raja dan siapapun dari makhluk-Nya. Tetapi engkau hanya mengesakan-Nya dalam ibadah dengan penuh cinta dan pengagungan, harap dan takut.”[12]

Demikian pula hakikat kesyirikan adalah tidak adanya pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya. Allah Jalla wa ‘Ala telah mencela orang-orang yang melakukan syirik dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُون

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [Az-Zumar: 67]

Olehnya, wajib bagi setiap muslim menjaga imannya dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya atau mengotori kemurniannya, diantaranya dengan tidak melakukan penghormatan kepada suatu benda melebihi kadarnya.

  1. Sarana yang Dapat Mengantarkan kepada Syirik

Ketika seorang menghormati suatu benda melebihi kadarnya, maka sangat dikhawatirkan hal itu dapat mengantarkannya kepada perbuatan syirik, yaitu syirik dalam ibadah hati; berupa pengagungan kepada makhluk sebagaimana pengagungannya kepada Allah Ta’ala, atau bahkan lebih.

Pentingnya menjaga tauhid dengan menghindari hal-hal yang bisa mengantarkan kepada syirik telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, diantaranya dalam kisah penebangan sebuah pohon bersejarah, bukan sekedar benda mati, tapi makhluk hidup yang pernah menjadi “saksi” perjuangan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat. Bukan cuma itu, ternyata pohon ini juga disebut dalam Al-Qur’an dan hadits. Allah Ta’ala berfirman:

لّقَدْ رَضِيَ اللّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشّجَرَةِ

“Sesungguhnya Allah telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon itu.” [Al-Fath: 18]

Juga disebutkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits:

 لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon itu.” [HR. At-Tirmidzi][13]

Mungkin sebagian orang mengatakan, “Sangat keterlaluan orang yang tidak menghormati pohon tersebut, terlebih pohon itu makhluk hidup,” tetapi sahabat memahami bahwa menghormati haruslah sesuai dengan ajaran agama, dan lebih penting dari itu adalah menjaga tauhid dibanding menghormati sebuah benda bersejarah, sehinggaUmar bin Khattab radhiyallahu’anhu pun menebang pohon bersejarah tersebut.

Apa sebab beliau menebangnya? Apakah karena di situ terjadi kesyirikan? Jawabannya, belum terjadi kesyirikan di situ. Beliau menebangnya hanya karena khawatir jangan sampai pohon itu kelak dijadikan tempat kesyirikan, walaupun orang-orang yang datang ke sana tidak melakukan kejahatan, yang mereka lakukan hanyalah sholat di bawah pohon itu.

Al-Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menuturkan:

سَمِعْتُ عِيْسَى بْنَ يُوْنسَ يَقوْلُ:«أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الخطابِ رَضِيَ الله ُ عَنْهُ بقطعِ الشَّجَرَةِ التي بوْيعَ تَحْتَهَا النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فقطعَهَا ، لأَنَّ النّاسَ كانوْا يَذْهَبُوْنَ فيصَلوْنَ تَحْتَهَا ، فخافَ عَليْهمُ الفِتْنة

“Aku mendengar Isa bin Yunus berkata, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu memerintahkan untuk memotong pohon yang di bawahnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dibai’at, maka dipotonglah. Hal itu dilakukan karena orang-orang pergi ke pohon itu untuk sholat di bawahnya, maka beliau khawatir mereka akan ditimpa fitnah (syirik)”[14]

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَار

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” [Al-Hasyr: 2]

  1. Menyerupai Orang-orang kafir

Menyerupai kebiasaan yang sudah menjadi ciri khusus orang kafir bukan hanya termasuk bid’ah, tapi juga termasuk kemaksiatan yang bertentangan dengan maqaashid syar’iyyah(tujuan-tujuan sayari’at), karena diantara tujuan syari’at adalah menyelisihi orang-orang kafir, tidak boleh mengikuti agama maupun kebiasaan mereka yang merupakan ciri khusus mereka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” [HR. Abu Daud][15]

  1. Berlebih-lebihan dalam Penghormatan

Ghuluw atau berlebih-lebihan dalam menghormati makhluk sampai membuat cara-cara khusus dan mewajibkan perbuatan itu adalah sesuatu yang terlarang dalam Islam, jangankan kepada benda mati, kepada nabi yang kita cintai saja tidak boleh berlebih-lebihan dalam menghormati beliau. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan:

لاَ تُطْرُونِى كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُه

“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada Isa bin Maryam, aku ini hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah hamba Allah dan rasul-Nya.” [HR. Al-Bukhari][16]

Juga peringatan beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ

“Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena yang membinasakan umat terdahulu adalah sikap berlebih-lebihan dalam agama.” [HR. An-Nasai dan Ibnu Majah][17]

Tentang Lagu Kebangsaan

Para ulama yang mengharamkan lagu kebangsaan dan nyanyian apapun, juga karena mereka berpendapat bahwa nyanyian, terlebih dengan alat musik, diharamkan dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِين

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [Luqman: 6]

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu ketika menjelaskan artiperkataan yang tidak berguna” yang dicela oleh Allah Ta’ala dalam ayat di atas, beliau berkata:

الغناء، والله الذي لا إله إلا هو، يرددها ثلاث مرات

“Maksudnya adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia,” beliau mengulangi sumpahnya tiga kali.”[18]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وكذا قال ابن عباس، وجابر، وعِكْرِمة، وسعيد بن جُبَيْر، ومجاهد، ومكحول، وعمرو بن شعيب، وعلي بن بَذيمة.

وقال الحسن البصري: أنزلت هذه الآية: { وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ } في الغناء والمزامير.

“Penafsiran yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Makhul, ‘Amr bin Syu’aib dan Ali bin Badzimah.

Dan berkata Al-Hasan Al-Basri, turunnya ayat ini “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan,” dalam (mencela) nyanyian dan alat-alat musik (seperti seruling dan semisalnya, pen).”[19]

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam mencela suatu kaum yang akan menghalalkan benda-benda yang diharamkan:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Akan ada nanti segolongan umatku yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki diharamkan, pen), , khamar dan alat-alat musik.” [HR. Al-Bukhari][20]

Pembaca yang budiman, inilah barangkali alasan-alasan mereka yang tidak mau melakukan hormat bendera dan upacara bendera. Perlu dicermati di sini, alasan pengharaman bukan karena haramnya menghormati bendera, tapi cara yang salah dalam menghormati, terlebih ini hanya masalah duniawi, masing-masing orang berhak menerjemahkan sendiri bagaimana cara menghormati, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Dan perlu dicatat, belum tentu orang-orang yang mencela pendapat tersebut lebih dikatakan menghormati negara dibanding orang-orang yang berpendapat demikian, bahkan tidak jarang kita dapati, mereka yang mencela pendapat haram hormat bendera adalah juga orang-orang yang suka menjelek-jelekan dan menjatuhkan wibawa pemerintah di media massa. Sebaliknya, mereka yang berpendapat haram hormat bendera, tidak pernah dan tidak terbetik dalam benak mereka untuk menyebarkan aib-aib pemerintah di khalayak ramai, apalagi melakukan demonstrasi yang merupakan kebiasaan orang-orang kafir.

Oleh karenanya kami tegaskan, tulisan ini bukan sebagai dukungan terhadap kelompok-kelompok teroris khawarij yang memiliki ideologi pemberontakan terhadap pemerintah kaum muslimin, walaupun mereka juga berpendapat haram hormat bendera, akan tetapi pendapat mereka bukan dibangun di atas dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan ulama, namun dibangun di atas ideologi mereka yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu ideologi teroris khawarij.

فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” [Al-Hajj: 46]

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم


[1] Tafsir Ibnu Katsir, 7/208, cetakan Dar Thaybah 1420 H.

[2] HR. An-Nasai no. 1589 dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Khutbatul Hajah, hal. 25.

[3] Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 51, cetakan Dar Ibnul Jauzi 1430 H.

[4] Lihat Talbis Iblis, hal. 16, sebagaimana dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 51.

[5] Lihat Al-I’tisham, 2/80-82, ibid, hal. 147.

[6] Lihat Al-I’tisham, 2/80, 81, ibid, hal. 147.

[7] Ahkamul Janaiz, hal. 242, ibid, hal. 153

[8] At-Tamassuk bi As-Sunan, hal. 130, ibid, hal. 153

[9] Al-Amru bil Ittiba’, hal. 242, ibid, hal. 156

[10] Iqthida Shirathil Mustaqim, 1/423, ibid, hal. 158

[11] Syarhu Tsalatsatil Ushul, hal. 39.

[12] Ibid, hal. 42

[13] HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini Hasan Shahih dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalamShahihul Jami’, no. 7680.

[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha,  sebagaimana dalam Fathul Majid Syarah Kitab At-TauhidAsy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, hal. 255.

[15] HR. Abu Daud no. 4033 dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6149.

[16] HR. Al-Bukhari no. 3261 dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu

[17] HR. An-Nasai no. 3070 dan Ibnu Majah no. 3144 dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma

[18] Tafsir Ath-Thobari, 21/39, sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir, 6/330.

[19] Tafsir Ibnu Katsir, 6/331.

[20] HR. Al-Bukhari no. 5628, dari Abu Malik Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu

Sumber Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray

PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (2)

بسم الله الرحمن الرحيم

PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (2)

Macam-macam Syirik

Pertama: Syirik dalam Uluhiyah (Ibadah)

Syirik dalam uluhiyah atau ibadah adalah mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala, baik ibadah yang zhahir maupun ibadah hati (batin). Inilah kesyirikan yang paling banyak tersebar di masyarakat. Macamnya pun sangat beragam, sebanyak bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka berikut ini kami akan memberikan sebagian contoh dari macam-macam syirik kepada Allah Ta’ala dalam ibadah.

1. Berdoa kepada selain Allah Ta’ala

Berdoa kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar yang telah dilarang oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu seru (berdoa) kepada mereka, maka mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

Orang yang berdoa kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk dalam golongan orang-orang yang zhalim karena telah melakukan kezhaliman terbesar (syirik), sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah (berdoa) kepada apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menyebutkan ayat di atas pada bab, “Termasuk perbuatan syirik, seorang yang ber-Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) atau berdoa kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Bab ke-13)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat nash bahwa berdoa dan istighotsahkepada selain Allah Ta’ala merupakan syirik besar. Oleh karenanya Allah Ta’ala berfirman (pada ayat setelahnya): “Apabila Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah ingin memberikan kebaikan kepadamu maka tidak ada yang sanggup menolak keutamaannya”. (Yunus: 107).” (Taysirul ‘Azizil Hamid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 237)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa setiap yang dipanjatkan doa kepadanya adalah sesembahan (ilah). Sedangkan penyembahan itu hanyalah hak Allah Ta’ala yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya sedikit pun.” (Fathul Majid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 164)

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahumullah berkata: “Ayat ini menunjukkan larangan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, baik doa permohonan maupun doa ibadah. Allah Ta’ala telah melarang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada selain Allah Ta’ala dengan larangan yang keras, padahal beliau adalah pemimpin orang-orang yang bertakwa dan bertauhid.” (At-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 249)

Para Ulama menjelaskan bahwa doa ada dua bentuk:

Pertama: Doa ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Karena seorang yang melakukan ibadah-ibadah tersebut berarti ia memohon rahmat dan ampunan kepada Allah Ta’ala dengan ibadah yang ia lakukan. Bentuk pertama ini apabila dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar (secara mutlak).

Kedua: Doa permohonan (tholab), seperti memohon suatu kemanfaatan atau terhindar dari suatu kemudharatan. Bentuk yang kedua ini apabila dipersembahkan atau diminta kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar jika tidak terpenuhi padanya tiga syarat:

  1. Permohonan tersebut mampu dikabulkan oleh orang yang diminta
  2. Orang tersebut masih hidup
  3. Orang tersebut hadir dan atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya

(lihat Syarh Tsalatsatil UshulAsy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 141-142).

Juga termasuk syirik dalam doa adalah:

  • Isti’anah (minta tolang) kepada selain Allah Ta’ala
  • Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) kepada selain Allah Ta’ala
  • Isti’adzah (mohon perlindungan) kepada selain Allah Ta’ala
  • Memohon syafa’at kepada selain Allah Ta’ala

Semua dengan perincian sebagaimana dalam doa tholab di atas.

  • Berdoa kepada para wali yang sudah meninggal dengan dalih tawassul

Yakni ia menjadikan wali tersebut sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah Ta’ala.Tawassul seperti ini bukanlah tawassul yang sesuai dengan sunnah, bahkan ia termasuk syirik menurut kesepakatan (ijma’) Ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menjadikan makhluq sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Ta’ala, sehingga ia berdoa kepada para perantara tersebut, memohon dan bertawakkal kepada mereka, maka ia kafir berdasarkan ijma’.” (Al-Mulakhkhosul Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/450)

  • Tabarruk (memohon berkah atau mengharapkannya) kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk syirik besar

Perbuatan ini termasuk syirik karena seorang yang melakukannya telah bergantung kepada selain Allah Ta’ala dalam meraih suatu keberkahan sebagaimana para penyembah berhala memohon berkah kepada berhala-berhala mereka. Maka seorang yang ber-tabarruk dengan kuburan para wali atau dengan pohon-pohon dan batu-batuan, sama halnya dengan para penyembah berhala yang ber-tabarruk dengan Lata, Uzza dan Manat (lihat Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqodAsy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 74-75).

Sahabat yang mulia, Al-Harits bin ‘Auf Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhupernah menceritakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى غزوة حنين مر بشجرة للمشركين كانوا يعلقون عليها أسلحتهم يقال لها : ذات أنواط . فقالوا : يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” سبحان الله هذا كما قال قوم موسى ( اجعل لنا إلها كما لهم آلهة ) والذي نفسي بيده لتركبن سنن من كان قبلكم “

“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath sebagaimana milik mereka”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa, “Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka”, demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2335, dishahihkanAsy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah, no. 5408)

2. Menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala

Menyembelih untuk selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik sebab menyembelih adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah (sembelihan), hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”.” (Al-An’am: 162)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Makna ayat ini seperti firman Allah Ta’ala: Maka dirikanlah shalat dan sembelihlah qurban karena Rabbmu.”(Al-Kautsar: 2), yakni, ikhlaskan shalatmu dan sembelihanmu hanya untuk Allah semata.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/381)

Demikian pula termasuk syirik apabila seorang ber-taqarrub kepada selain Allah Ta’ala dengan mempersembahkan sesajen, apakah bentuk sesajen itu hewan qurban atau selainnya. Dan biasanya mereka lakukan hal tersebut untuk meminta pertolongan kepada jin. Seperti sesajen yang sering dipersembahkan kepada jin ratu laut selatan adalah termasuk syirik kepada Allah Ta’ala yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

3. Bernazar untuk selain Allah Ta’ala

Nazar termasuk ibadah, sehingga tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena nazar yang mereka tunaikan, sebagaimana firman-Nya:

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ

“Mereka menunaikan nazar.” (Al-Insan: 7)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena telah menunaikan nazar mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai sebab masuknya mereka ke dalam surga. Dan suatu amalan yang bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga adalah ibadah, maka mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Al-Qoulul Mufid, 1/317)

4. Syirik dalam Cinta

Fenomena syirik dalam cinta telah dijelaskan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Cinta kepada Allah Ta’ala ada empat tingkatan:

Pertama: Seorang mencintai Allah melebihi selain-Nya. Inilah tauhid

Kedua: Seorang mencintai Allah seperti mencintai selain-Nya. Ini adalah syirik

Ketiga: Seorang mencintai selain Allah melebihi cintanya kepada Allah. Ini lebih besar dosa kesyirikannya dari yang sebelumnya

Keempat: Seorang mencintai selain Allah Ta’ala dan tidak ada sedikit pun kecintaan kepada Allah dalam hatinya. Ini lebih besar lagi dosa kesyirikannya dan lebih jelek lagi.” (Al-Qaulul Mufid, 1/200-201)

5. Takut kepada selain Allah Ta’ala

Takut kepada selain Allah Ta’ala terbagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Takut yang tersembunyi (dalam hati manusia), yakni takut dari suatu kemampuan khusus yang mereka yakini dimiliki oleh selain Allah Ta’ala, padahal kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala. Seperti keyakinan para penyembah kubur bahwa wali-wali yang mereka sembah memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya kepada mereka atau menghilangkannya dari mereka.

Bahkan mereka berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali karena takut kepada wali tersebut. Maka takut seperti ini adalah termasuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)

Kedua: Takut karena sebab-sebab yang dapat dirasakan atau dilihat oleh panca indera, seperti takut kepada pencuri atau musuh. Takut seperti ini tidaklah termasuk syirik, dengan syarat tidak mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perintah Allah Ta’ala.

Ketiga: Takut yang sifatnya tabiat, seperti takut dari binatang buas, takut terbakar, takut tenggelam dan lain-lain. Takut seperti ini juga tidak termasuk bentuk syirik kepada Allah Ta’ala atau maksiat kepada-Nya.

(lihat Syarh Tsalatsatil UshulAsy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, dicetak dalamJami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 129-130)

6. Harap kepada selain Allah Ta’ala, yaitu apabila seorang mengharap kepada selain Allah Ta’ala disertai dengan merendahkan diri dan ketundukan maka termasuk syirik, sebab hal tersebut termasuk ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala (lihat Syarh Tsalatsatil UshulAsy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 143)

7. Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala

Allah Ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu bertawakkal kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tawakkal kepada Allah adalah ibadah dan hukumnya wajib, maka mempersembahkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 497)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Tawakkal kepada Allah, serta benarnya penyandaran dan ketergantungan hati kepada-Nya adalah puncak pengamalan tauhid.” (Fathul Majid, hal. 60)

8. Taat kepada selain Allah dalam perkara maksiat kepada-Nya

Allah Ta’ala berfirman:

اتخذُواْ أَحْبَـارَهُمْ وَرُهْبَـانَهُمْ أَرْبَاباً مّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً واحِداً لاَّ إله إِلاَّ هُوَ سُبْحَـانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Tafsir ayat ini telah jelas, yaitu tentang ketaatan kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah dalam perkara maksiat kepada Allah. Jadi, bukanlah maksud ayat ini mereka berdoa kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah tersebut. Dan hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim. “ (Ad-Durarus Saniyyah, 2/70)

Maksud beliau adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu (seorang sahabat yang dahulunya beragama Kristen), ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat dalam surat at-taubah ayat 31 di atas, beliau bersabda:

أما إنهم لم يكونوا يعبدونهم، ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه، وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه

“Sesungguhnya orang-orang Kristen tidaklah beribadah kepada mereka (ulama dan ahli ibadah), akan tetapi mereka mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan (maka itulah yang dimaksud beribadah kepada mereka).” (HR. At-Tirmidzi, no. 3095, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 3293 dan Ghayatul Marom, no. 6)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Mereka yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai tandingan-tandingan selain Allah dengan mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, dari dua sisi:

Pertama: Mereka tahu bahwa ulama dan ahli ibadah mereka telah merubah agama Allah, lalu mereka ikuti agama yang telah dirubah tersebut. Sehinnga mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin (agama) mereka, padahal mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin tersebut telah menyelisihi agama Rasul. Maka ini adalah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan perbuatan ini termasuk syirik, meskipun mereka tidak shalat dan sujud kepada ulama dan ahli ibadah mereka.

Maka seorang yang mengikuti orang lain dalam perkara yang bertentangan dengan agama padahal ia mengetahui bahwa perkara tersebut bertentangan dengan agama dan ia meyakini kebenaran perkataannya bukan perkataan Allah dan Rasul-Nya, ia pun musyrik seperti mereka.

Kedua: Mereka tetap meyakini dan mengimani bahwa yang diharamkan para ulama dan ahli ibadah mereka adalah halal dan yang dihalalkannya adalah haram, namun mereka tetap mentaati para ulama dan ahli ibadah tersebut dalam perkara maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan maksiat dan ia tetap meyakini bahwa perbuatannya itu adalah maksiat, maka yang seperti ini hukumnya sama dengan hukum bagi pelaku dosa besar (tidak sampai kafir).” (Majmu’ al-Fatawa, 7/70)

Bagaimana dengan seorang ulama mujtahid yang ijtihadnya salah dan bagaimana pula hukum orang yang mengikuti ijtihad tersebut?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram apabila ia seorang mujtahid yang bertujuan untuk mengikuti Rasul namun ia belum mengetahui kebenaran dalam perkara tersebut dan ia telah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka yang seperti ini tidaklah Allah mengadzabnya karena kesalahannya, bahkan Allah akan membalas dengan kebaikan atas kesungguhannya dalam mentaati Rabbnya.

Akan tetapi orang yang mengetahui bahwa sang ulama mujtahid tersebut telah salah, tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, lalu kemudian ia tetap mengikuti kesalahan tersebut dan berpaling dari perkataan Rasul, maka orang seperti ini telah melakukan satu bentuk syirik yang dicela oleh Allah Ta’ala.

Terlebih lagi jika ia mengikuti ulama mujtahid tersebut hanya karena hawa nafsunya sendiri dan ia mendukung kesalahan tersebut dengan lisan dan tangannya, padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan petunjuk Rasul, maka ini termasuk syirik yang mengharuskan pelakunya dihukum.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/71)

9. Syirik dalam Niat: Riya’ dan Sum’ah

Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.

Berdasarkan tingkatannya, riya’ terbagi dua:

Pertama: Syirik besar, apabila seorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikitpun dalam hatinya niat karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah Ta’ala:

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142)

Kedua: Syirik kecil, apabila seorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan tertolaknya ibadah seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” (HR. Ahmad,dihasankan Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth, no. 23680 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)

Peringatan: Meninggalkan amal karena takut dibilang riya’ juga riya’

Seorang yang meninggalkan suatu amalan karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” (Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11)

Apakah mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?

Apabila seorang telah berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’ lalu ia mendapat pujian manusia atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliu bersabda:

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim, no. 6891)

Akan tetapi, janganlah sampai pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ujub (bangga diri, merasa lebih dari yang lain). Karena hakikat sifat ujub adalah bentuk lain dari riya’.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah seorang menyekutukan Allah dengan makhluq, sedang ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/277)

Bahaya sifat ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه

Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya (ujub). (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 731, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1802)

10. Syirik dalam Niat:  Beramal karena dunia

Bentuk yang kedua dari syirik dalam niat adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16)

Pengecualian: Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من قتل قتيلا فله سلبه

“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56)

Contoh lain, seorang yang menyambung silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639)

Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.

Bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?

Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata, “(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid). (Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493)

“(Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494)

Bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92)

Bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkanghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133)

Wallahu A’la wa A’lam.

(Insya Allah bersambung pada penjelasan macam-macam syirik dalamRububiyah dan Asma’ was Shifat).

sumber Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray

PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (2)

Macam-macam Syirik

Pertama: Syirik dalam Uluhiyah (Ibadah)

Syirik dalam uluhiyah atau ibadah adalah mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala, baik ibadah yang zhahir maupun ibadah hati (batin). Inilah kesyirikan yang paling banyak tersebar di masyarakat. Macamnya pun sangat beragam, sebanyak bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka berikut ini kami akan memberikan sebagian contoh dari macam-macam syirik kepada Allah Ta’ala dalam ibadah.

1. Berdoa kepada selain Allah Ta’ala

Berdoa kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar yang telah dilarang oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu seru (berdoa) kepada mereka, maka mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

Orang yang berdoa kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk dalam golongan orang-orang yang zhalim karena telah melakukan kezhaliman terbesar (syirik), sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah (berdoa) kepada apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menyebutkan ayat di atas pada bab, “Termasuk perbuatan syirik, seorang yang ber-Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) atau berdoa kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Bab ke-13)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat nash bahwa berdoa dan istighotsahkepada selain Allah Ta’ala merupakan syirik besar. Oleh karenanya Allah Ta’ala berfirman (pada ayat setelahnya): “Apabila Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah ingin memberikan kebaikan kepadamu maka tidak ada yang sanggup menolak keutamaannya”. (Yunus: 107).” (Taysirul ‘Azizil Hamid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 237)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa setiap yang dipanjatkan doa kepadanya adalah sesembahan (ilah). Sedangkan penyembahan itu hanyalah hak Allah Ta’ala yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya sedikit pun.” (Fathul Majid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 164)

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahumullah berkata: “Ayat ini menunjukkan larangan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, baik doa permohonan maupun doa ibadah. Allah Ta’ala telah melarang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada selain Allah Ta’ala dengan larangan yang keras, padahal beliau adalah pemimpin orang-orang yang bertakwa dan bertauhid.” (At-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 249)

Para Ulama menjelaskan bahwa doa ada dua bentuk:

Pertama: Doa ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Karena seorang yang melakukan ibadah-ibadah tersebut berarti ia memohon rahmat dan ampunan kepada Allah Ta’ala dengan ibadah yang ia lakukan. Bentuk pertama ini apabila dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar (secara mutlak).

Kedua: Doa permohonan (tholab), seperti memohon suatu kemanfaatan atau terhindar dari suatu kemudharatan. Bentuk yang kedua ini apabila dipersembahkan atau diminta kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar jika tidak terpenuhi padanya tiga syarat:

  1. Permohonan tersebut mampu dikabulkan oleh orang yang diminta
  2. Orang tersebut masih hidup
  3. Orang tersebut hadir dan atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya

(lihat Syarh Tsalatsatil UshulAsy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 141-142).

Juga termasuk syirik dalam doa adalah:

  • Isti’anah (minta tolang) kepada selain Allah Ta’ala
  • Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) kepada selain Allah Ta’ala
  • Isti’adzah (mohon perlindungan) kepada selain Allah Ta’ala
  • Memohon syafa’at kepada selain Allah Ta’ala

Semua dengan perincian sebagaimana dalam doa tholab di atas.

  • Berdoa kepada para wali yang sudah meninggal dengan dalih tawassul

Yakni ia menjadikan wali tersebut sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah Ta’ala.Tawassul seperti ini bukanlah tawassul yang sesuai dengan sunnah, bahkan ia termasuk syirik menurut kesepakatan (ijma’) Ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menjadikan makhluq sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Ta’ala, sehingga ia berdoa kepada para perantara tersebut, memohon dan bertawakkal kepada mereka, maka ia kafir berdasarkan ijma’.” (Al-Mulakhkhosul Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/450)

  • Tabarruk (memohon berkah atau mengharapkannya) kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk syirik besar

Perbuatan ini termasuk syirik karena seorang yang melakukannya telah bergantung kepada selain Allah Ta’ala dalam meraih suatu keberkahan sebagaimana para penyembah berhala memohon berkah kepada berhala-berhala mereka. Maka seorang yang ber-tabarruk dengan kuburan para wali atau dengan pohon-pohon dan batu-batuan, sama halnya dengan para penyembah berhala yang ber-tabarruk dengan Lata, Uzza dan Manat (lihat Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqodAsy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 74-75).

Sahabat yang mulia, Al-Harits bin ‘Auf Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhupernah menceritakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى غزوة حنين مر بشجرة للمشركين كانوا يعلقون عليها أسلحتهم يقال لها : ذات أنواط . فقالوا : يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” سبحان الله هذا كما قال قوم موسى ( اجعل لنا إلها كما لهم آلهة ) والذي نفسي بيده لتركبن سنن من كان قبلكم “

“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath sebagaimana milik mereka”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa, “Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka”, demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2335, dishahihkanAsy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah, no. 5408)

2. Menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala

Menyembelih untuk selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik sebab menyembelih adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah (sembelihan), hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”.” (Al-An’am: 162)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Makna ayat ini seperti firman Allah Ta’ala: Maka dirikanlah shalat dan sembelihlah qurban karena Rabbmu.”(Al-Kautsar: 2), yakni, ikhlaskan shalatmu dan sembelihanmu hanya untuk Allah semata.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/381)

Demikian pula termasuk syirik apabila seorang ber-taqarrub kepada selain Allah Ta’ala dengan mempersembahkan sesajen, apakah bentuk sesajen itu hewan qurban atau selainnya. Dan biasanya mereka lakukan hal tersebut untuk meminta pertolongan kepada jin. Seperti sesajen yang sering dipersembahkan kepada jin ratu laut selatan adalah termasuk syirik kepada Allah Ta’ala yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

3. Bernazar untuk selain Allah Ta’ala

Nazar termasuk ibadah, sehingga tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena nazar yang mereka tunaikan, sebagaimana firman-Nya:

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ

“Mereka menunaikan nazar.” (Al-Insan: 7)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena telah menunaikan nazar mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai sebab masuknya mereka ke dalam surga. Dan suatu amalan yang bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga adalah ibadah, maka mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Al-Qoulul Mufid, 1/317)

4. Syirik dalam Cinta

Fenomena syirik dalam cinta telah dijelaskan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Cinta kepada Allah Ta’ala ada empat tingkatan:

Pertama: Seorang mencintai Allah melebihi selain-Nya. Inilah tauhid

Kedua: Seorang mencintai Allah seperti mencintai selain-Nya. Ini adalah syirik

Ketiga: Seorang mencintai selain Allah melebihi cintanya kepada Allah. Ini lebih besar dosa kesyirikannya dari yang sebelumnya

Keempat: Seorang mencintai selain Allah Ta’ala dan tidak ada sedikit pun kecintaan kepada Allah dalam hatinya. Ini lebih besar lagi dosa kesyirikannya dan lebih jelek lagi.” (Al-Qaulul Mufid, 1/200-201)

5. Takut kepada selain Allah Ta’ala

Takut kepada selain Allah Ta’ala terbagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Takut yang tersembunyi (dalam hati manusia), yakni takut dari suatu kemampuan khusus yang mereka yakini dimiliki oleh selain Allah Ta’ala, padahal kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala. Seperti keyakinan para penyembah kubur bahwa wali-wali yang mereka sembah memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya kepada mereka atau menghilangkannya dari mereka.

Bahkan mereka berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali karena takut kepada wali tersebut. Maka takut seperti ini adalah termasuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)

Kedua: Takut karena sebab-sebab yang dapat dirasakan atau dilihat oleh panca indera, seperti takut kepada pencuri atau musuh. Takut seperti ini tidaklah termasuk syirik, dengan syarat tidak mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perintah Allah Ta’ala.

Ketiga: Takut yang sifatnya tabiat, seperti takut dari binatang buas, takut terbakar, takut tenggelam dan lain-lain. Takut seperti ini juga tidak termasuk bentuk syirik kepada Allah Ta’ala atau maksiat kepada-Nya.

(lihat Syarh Tsalatsatil UshulAsy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, dicetak dalamJami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 129-130)

6. Harap kepada selain Allah Ta’ala, yaitu apabila seorang mengharap kepada selain Allah Ta’ala disertai dengan merendahkan diri dan ketundukan maka termasuk syirik, sebab hal tersebut termasuk ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala (lihat Syarh Tsalatsatil UshulAsy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 143)

7. Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala

Allah Ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu bertawakkal kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tawakkal kepada Allah adalah ibadah dan hukumnya wajib, maka mempersembahkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 497)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Tawakkal kepada Allah, serta benarnya penyandaran dan ketergantungan hati kepada-Nya adalah puncak pengamalan tauhid.” (Fathul Majid, hal. 60)

8. Taat kepada selain Allah dalam perkara maksiat kepada-Nya

Allah Ta’ala berfirman:

اتخذُواْ أَحْبَـارَهُمْ وَرُهْبَـانَهُمْ أَرْبَاباً مّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً واحِداً لاَّ إله إِلاَّ هُوَ سُبْحَـانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Tafsir ayat ini telah jelas, yaitu tentang ketaatan kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah dalam perkara maksiat kepada Allah. Jadi, bukanlah maksud ayat ini mereka berdoa kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah tersebut. Dan hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim. “ (Ad-Durarus Saniyyah, 2/70)

Maksud beliau adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu (seorang sahabat yang dahulunya beragama Kristen), ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat dalam surat at-taubah ayat 31 di atas, beliau bersabda:

أما إنهم لم يكونوا يعبدونهم، ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه، وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه

“Sesungguhnya orang-orang Kristen tidaklah beribadah kepada mereka (ulama dan ahli ibadah), akan tetapi mereka mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan (maka itulah yang dimaksud beribadah kepada mereka).” (HR. At-Tirmidzi, no. 3095, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 3293 dan Ghayatul Marom, no. 6)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Mereka yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai tandingan-tandingan selain Allah dengan mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, dari dua sisi:

Pertama: Mereka tahu bahwa ulama dan ahli ibadah mereka telah merubah agama Allah, lalu mereka ikuti agama yang telah dirubah tersebut. Sehinnga mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin (agama) mereka, padahal mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin tersebut telah menyelisihi agama Rasul. Maka ini adalah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan perbuatan ini termasuk syirik, meskipun mereka tidak shalat dan sujud kepada ulama dan ahli ibadah mereka.

Maka seorang yang mengikuti orang lain dalam perkara yang bertentangan dengan agama padahal ia mengetahui bahwa perkara tersebut bertentangan dengan agama dan ia meyakini kebenaran perkataannya bukan perkataan Allah dan Rasul-Nya, ia pun musyrik seperti mereka.

Kedua: Mereka tetap meyakini dan mengimani bahwa yang diharamkan para ulama dan ahli ibadah mereka adalah halal dan yang dihalalkannya adalah haram, namun mereka tetap mentaati para ulama dan ahli ibadah tersebut dalam perkara maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan maksiat dan ia tetap meyakini bahwa perbuatannya itu adalah maksiat, maka yang seperti ini hukumnya sama dengan hukum bagi pelaku dosa besar (tidak sampai kafir).” (Majmu’ al-Fatawa, 7/70)

Bagaimana dengan seorang ulama mujtahid yang ijtihadnya salah dan bagaimana pula hukum orang yang mengikuti ijtihad tersebut?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram apabila ia seorang mujtahid yang bertujuan untuk mengikuti Rasul namun ia belum mengetahui kebenaran dalam perkara tersebut dan ia telah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka yang seperti ini tidaklah Allah mengadzabnya karena kesalahannya, bahkan Allah akan membalas dengan kebaikan atas kesungguhannya dalam mentaati Rabbnya.

Akan tetapi orang yang mengetahui bahwa sang ulama mujtahid tersebut telah salah, tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, lalu kemudian ia tetap mengikuti kesalahan tersebut dan berpaling dari perkataan Rasul, maka orang seperti ini telah melakukan satu bentuk syirik yang dicela oleh Allah Ta’ala.

Terlebih lagi jika ia mengikuti ulama mujtahid tersebut hanya karena hawa nafsunya sendiri dan ia mendukung kesalahan tersebut dengan lisan dan tangannya, padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan petunjuk Rasul, maka ini termasuk syirik yang mengharuskan pelakunya dihukum.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/71)

9. Syirik dalam Niat: Riya’ dan Sum’ah

Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.

Berdasarkan tingkatannya, riya’ terbagi dua:

Pertama: Syirik besar, apabila seorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikitpun dalam hatinya niat karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah Ta’ala:

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142)

Kedua: Syirik kecil, apabila seorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan tertolaknya ibadah seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” (HR. Ahmad,dihasankan Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth, no. 23680 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)

Peringatan: Meninggalkan amal karena takut dibilang riya’ juga riya’

Seorang yang meninggalkan suatu amalan karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” (Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11)

Apakah mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?

Apabila seorang telah berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’ lalu ia mendapat pujian manusia atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliu bersabda:

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim, no. 6891)

Akan tetapi, janganlah sampai pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ujub (bangga diri, merasa lebih dari yang lain). Karena hakikat sifat ujub adalah bentuk lain dari riya’.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah seorang menyekutukan Allah dengan makhluq, sedang ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/277)

Bahaya sifat ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه

Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya (ujub). (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 731, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1802)

10. Syirik dalam Niat:  Beramal karena dunia

Bentuk yang kedua dari syirik dalam niat adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16)

Pengecualian: Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من قتل قتيلا فله سلبه

“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56)

Contoh lain, seorang yang menyambung silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639)

Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.

Bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?

Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata, “(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid). (Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493)

“(Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494)

Bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92)

Bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkanghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133)

Wallahu A’la wa A’lam.

sumber : http://nasihatonline.wordpress.com