Apa Hukum Sholat Hajat?

Apa Hukum Sholat Hajat?

cara sholat hajat

Hukum Sholat Hajat

Tanya:

Assalamu’alaikum,

Terima kasih Ustadz atas jawaban pertanyaan yang lalu. Sekarang mau tanya lagi:
Apa pengertian Sholat Hajat? Dan bagaimana tata cara melaksanakannya (niat, bacaan, dan doanya)? Wassalamu’alaikum

(Bu Elly, Pontianak)

Jawab:

Wa’alaikumsalam.

Sholat hajat adalah sholat yang dilakukan ketika ada hajat (keperluan). Namun perlu diketahui, bahwasanya tidak dalil yang shahih yang menjelaskan tentang disyariatkannya sholat hajat. Oleh karena itu kita tidak boleh mengamalkannya karena ibadah adalah tauqifiyyah (terima jadi).

Lembaga Tetap untuk Riset dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia menyatakan bahwa hadist-hadist yang berkaitan dengan shalat hajat dha’if (lemah) dan munkar (Fatawa Al-Lajanah Ad-Daimah 8/160).

Diantara hadist-hadist tersebut adalah hadist Abdullah bin Abi Aufa bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من كانت له إلى الله حاجة أو إلى أحد من بني آدم فليتوضأ فليحسن الوضوء ثم ليصل ركعتين ثم ليثن على الله وليصل على النبي صلى الله عليه و سلم ثم ليقل لاإله إلا الله الحليم الكريم سبحان الله رب العرش العظيم الحمد لله رب العالمين أسئلك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والغنيمة من كل بر والسلامة من كل إثم لا تدع لي ذنبا إلى غفرته ولا هما إلا فرجته ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين

“Barangsiapa yang memiliki keperluan kepada Allah atau kepada seseorang dari anak Adam maka hendaknya dia berwudhu dan memperbaiki wudhunya, kemudian hendaknya dia shalat 2 rakaat kemudian memuji Allah, dan bershalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian membaca:

لاإله إلا الله الحليم الكريم سبحان
الله رب العرش العظيم الحمد لله رب العالمين أسئلك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والغنيمة من كل بر والسلامة من كل إثم لا تدع لي ذنبا إلى غفرته ولا هما إلا فرجته ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين

“Tidak sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Al-Halim Al-Karim, Maha Suci Allah Pemilik Arsy yang besar, segala puji bagi Allah, rabb semesta alam, aku memohon kepadaMu apa-apa yang mendatangkan rahmatMu, dan ampunanMu, dan aku memohon kepadaMu untuk mendapatkan setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa, janganlah Engkau tinggalkan bagi ku dosa kecuali telah Engkau ampuni, dan jangan Engkau tinggalkan bagiku rasa gelisah kecuali Engkau beri jalan keluar, dan jangan Engkau tinggalkan bagiku keperluanku yang engkau ridhai kecuali Engkau tunaikan untukku, wahai Yang Maha Penyayang.” (HR. At-tirmidzy 2/344, dan Ibnu Majah 1/44, berkata Syeikh Al-Albany: Dhaif jiddan (lemah sekali)).

Syeikh Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwasanya shalat hajat ini tidak disyari’atkan (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad Al-Utsaimin 14/323 no: 894).

Oleh karena seorang muslim hendaknya mengamalkan amalan yang ada dalilnya dan meninggalkan amalan-amalan yang tidak ada dalilnya. Ahamdulillah disana ada cara yang lebih baik bagi kita untuk memenuhi hajat kita, yaitu dengan cara berdoa kepada Allah, terutama di waktu dan keadaan yang mustajab.

Berkata Asy-Syuqairy rahimahullah:

وأنت قد علمت ما في هذا الحديث من المقال ، فالأفضل لك والأخلص والأسلم أن تدعو الله تعالى في جوف الليل وبين الأذان والإقامة وفي أدبار الصلوات قبل التسليم ، وفي أيام الجمعات ، فإن فيها ساعة إجابة ، وعند الفطر من الصوم ، وقد قال ربكم ( أدعوني أستجب لكم ) وقال : ( وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان ) وقال : ( ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها )

“Dan anda sudah tahu bahwa hadist ini (tentang shalat hajat) ada pembicaraan (tentang kelemahannya), maka yang afdhal, lebih ikhlash, dan lebih selamat engkau berdoa kepada Allah di tengah malam, dan antara adzan dan iqamat, di akhir shalat sebelum salam, pada hari jumat karena di dalamnya ada waktu ijabah (dikabulkan doa), dan ketika berbuka puasa, Allah telah berfirman:

( أدعوني أستجب لكم )

“Berdoalah kepadaKu maka akan kabulkan.” Dan Allah juga berfirman:

( وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان )

“Dan jika hambaKu bertanya tentang diriKu maka katakanlah bahwasanya Aku dekat, Aku akan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaKu.” Allah juga berfirman:

( ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها )

“Dan bagi Allahlah nama-nama yang baik, maka berdoalah denganNya” (As-Sunan wal Mubtada’at hal: 124).

Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Abdullah Roy, Lc. MA

Shalat Muakkad (2), Shalat Dhuha

Shalat Muakkad (2), Shalat Dhuha

shalat_dhuha_menurut_syafii

Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa ada tiga shalat sunnah muakkad, yang termasuk shalat sunnah mutlak. Yang telah dibahas adalah mengenai shalat lail atau shalat tahajjud. Sekarang kita melihat hal-hal seputar shalat Dhuha. Yang akan kita tinjau sekali lagi masih bersumber dari fikih Syafi’i, tepatnya penjelasan para ulama yang menjeleskan kitab Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau dikenal pula dengan Matan Abi Syuja’.

Sunnahnya Shalat Dhuha

Mengenai pensyari’atan shalat Dhuha disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

Mereka bertasbih di waktu petang dan pagi” (QS. Shaad: 18). Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud isyroq di sini adalah shalat Dhuha. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84)

Mengenai maksud Ibnu ‘Abbas di atas terlihat dalam hadits hadits ‘Abdullah bin Al Harits, di mana ia berkata,

أن ابن عباس كان لا يصلي الضحى حتى أدخلناه على أم هانئ فقلت لها : أخبري ابن عباس بما أخبرتينا به ، فقالت أم هانئ : « دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيتي فصلى صلاة الضحى ثمان ركعات » فخرج ابن عباس ، وهو يقول : « لقد قرأت ما بين اللوحين فما عرفت صلاة الإشراق إلا الساعة » ( يسبحن بالعشي والإشراق) ، ثم قال ابن عباس : « هذه صلاة الإشراق

Ibnu ‘Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah mengenai Ibnu ‘Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak 8 raka’at.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat isyroq kecuali sesaat.” (Allah berfirman yang artinya), “Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi)” (QS. Shaad: 18). Ibnu ‘Abbas menyebut shalat ini dengan shalat isyroq. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 4: 59. Syaikh Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’ mengatakan bahwa atsar ini hasan ligoirihi, yaitu dilihat dari jalur lainnya).

Hadits Abu Hurairah juga menunjukkan sunnahnya shalat Dhuha di mana beliau berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى – صلى الله عليه وسلم – بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) berwitir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.)

Dalam riwayat Bukhari lainnya digunakan lafazh,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku yang tidak kutinggalkan hingga aku mati: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) belaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) berwitir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1178).

Jumlah Raka’at Shalat Dhuha

Jumlah raka’at minimal shalat Dhuha adalah 2 raka’at. Sedangkan menurut Ar Rofi’i, raka’at maksimalnya adalah 12 raka’at. Sedangkan menurut Imam Nawawi dalam Syarh Al Muhaddzab, jumlah raka’at maksimal shalat Dhuha adalah 8 raka’at. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Sebagai dalil penguat adalah hadits Ummu Hani (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84).

Dari Ummu Hani binti Abi Tholib radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَامَ الْفَتْحِ ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ ، وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ « مَنْ هَذِهِ » . فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِى طَالِبٍ . فَقَالَ « مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ » . فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ ، قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ ، مُلْتَحِفًا فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، زَعَمَ ابْنُ أُمِّى أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فُلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ » . قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَاكَ ضُحًى

“Aku pernah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekkah, aku menemukan beliau sedang mandi. Dan ketika itu putri beliau, Fathimah menutupi diri beliau dan Fathimah berkata setelah kuberi salam padanya. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, “Siapa ini?” “Aku adalah Ummu Hani binti Abi Tholib”, jawabku. Beliau pun bersabda, “Selamat datang wahai Ummu Hani.” Ketika beliau selesai dari mandinya, beliau berdiri dan melaksanakan shalat 8 raka’at dengan memakai satu pakaian. Ketika beliau selesai dari shalatnya, aku berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah.” Maka beliau bersabda, “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani.” Ummu Hani berkata, “Demikianlah shalat Dhuha.” (HR. Bukhari no. 357 dan Muslim no. 336). Ini menjadi dalill bahwa maksimal raka’at shalat Dhuha adalah 8 raka’at.

Dalam kitab Al Iqna’ (1: 212) disebutkan bahwa pelaksanaan shalat Dhuha  disunnahkan dilakukan dengan tiap dua raka’at salam.

Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Syaikh Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Waktu shalat Dhuha adalah mulai dari matahari meninggi hingga waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Waktu afdholnya ketika telah masuk ¼ siang.” (At Tadzhib, hal. 50).

Ar Rofi’i mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah mulai dari matahari meninggi (setinggi tombak) hingga istiwa’ (matahari di atas kepala, di pertengahan). Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu Ar Rif’ah.

Imam Nawawi dalam Ar Roudhoh mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Dhuha menurut ulama Syafi’iyah dimulai dari terbitnya matahari, namun disunnahkan dimulai ketika matahari meninggi.

Waktu terbaik (mukhtaar) untuk shalat Dhuha adalah ketika telah masuk ¼ siang. Imam Nawawi pun menguatkan hal ini (LihatKifayatul Akhyar, hal. 84).

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

Zaid bin Arqom pernah melihat suatu kaum sedang melaksanakan shalat Dhuha, ia berkata, “Yang mereka tahu bahwa shalat di selain waktu ini lebih afdhol. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat awwabin  yaitu ketika keadaan begitu panas.” (HR. Muslim no. 748).

Shalat Dhuha dalam hadits ini disebut dengan shalat awwabin yaitu shalat orang yang kembali taat sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah. Waktu afdhol shalat Dhuha adalah ketika sudah begitu siang diperkirakan telah masuk ¼ siang, yaitu keadaannya disebut dengan tarmadhul fishool, yaitu saat pasir mulai panas membakar dan anak unta meninggalkan induknya.

Keterangan:

1- Waktu matahari meninggi (setinggi tombak), sekitar 10 menit setelah matahari terbit. Silakan diperkirakan untuk setiap daerah karena waktu terbitnya matahari di setiap daerah berbeda-beda. Kalau matahari terbit jam 06.00, maka shalat Dhuha bisa dimulai pukul 06.10. Demikian keterangan para ulama yang sering penulis dengar dan baca.

2- Waktu terbaik shalat Dhuha adalah ketika telah masuk ¼ siang, berarti sekitar jam 7 pagi ke atas.

Semoga bermanfaat dan moga berbuah amal sholih dengan selalu bisa dirutinkan. Wallahu waliyyut taufiq.

 

@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 1 Muharram 1433 H

Sumber : www.rumaysho.com

Doa Shalat Tahajud

Doa Shalat Tahajud

doa shalat tahajud

Doa Shalat Tahajud

Pertanyaan:

Bismillah

Apakah Ada Doa setelah shalat tahajjud yang warid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang dibuku kumpulan doa yang dijual di toko buku? Tolong dijelaskan Ustadz, Jazakallahu Khair.

Dari: Dudi

Jawaban:

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Pertama, sesungguhnya sepertiga malam terakhir termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Karena Allah menjanjikan akan mengabulkan doa di waktu ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku ijabahi doanya, siapa yang meminta-Ku akan Aku beri dia, dan siapa yang minta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni dia.” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758, Abu Daud 1315, dan yang lainnya).

Kedua, berdasarkan hadis di atas, di sepertiga malam terakhir, Anda bisa memohon kepada Allah apapun yang Anda inginkan, selama tidak melanggar larangan dalam berdoa. Anda bisa berdoa dengan bahasa Arab, bahasa Indonesia atau bahasa apapun yang Anda pahami. Manfaatkan kesempatan sepertiga malam terakhir untuk banyak memohon kepada Allah. Memohon ampunan, memohon hidayah, memohon kebaikan dunia akhirat, dan memohon kepada Allah untuk menyelesaikan masalah Anda. Tidak ada doa khusus yang harus Anda baca untuk permohonan ini.

Kapan Waktunya?

Bisa Anda lakukan setiap selesai shalat 2 rakaat, atau seusai tahajud sebelum witir, atau ketika sujud, atau menjelang salam sebelum tasyahud.

Ketiga, doa khusus untuk dibaca ketika tahajud berdasarkan hadis yang shahih, terdapat pada doa iftitah dan doa setelah witir. Berikut rinciannya:

Doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika iftitah:

1. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, beliau bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apa doa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengawali shalat malam beliau?”

Aisyah menjawab: “Beliau memulai shalat malam beliau dengan membaca doa:

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Ya Allah, Tuhannya Jibril, mikail, dan israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui yang gaib dan yang nampak. Engkau yang memutuskan diantara hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Berilah petunjuk kepadaku untuk menggapai kebenaran yang diperselisihan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus.” (HR. Muslim 770, Abu daud 767, Turmudzi 3420 dan yang lainnya)

2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan shalat di tengah malam, beliau membaca doa iftitah:

اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ،

اَللّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau yang mengatur langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau pencipta langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Engkau Maha benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar. Surga itu benar, neraka itu benar, dan kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku pasrah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku bertaubat, hanya dengan petunjuk-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku memohon keputusan, karena itu, ampunilah aku atas dosaku yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan sembunyi-sembunyi maupun yang kulakukan terang-terangan. Engkau yang paling awal dan yang paling akhir. Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 2710, Muslim 769, Ibn Majah 1355).

3. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun malam, beliau bertakbir, kemudian membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ

Maha Suci Engkau Ya Allah, aku memuji-Mu, Maha Mulia nama-Mu, Maha Tinggi keagungan-Mu, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Kemudian membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah (3 kali)

dilanjutkan dengan membaca:

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

Allah Maha Besar (3 kali)

(HR. Abu Daud 775, Ad-Darimi 1275, dan dishahihkan al-Albani)

Doa yang Dibaca Setelah Witir

Doa pertama

سُبْحَانَ الـمَلِكِ القُدُّوْسِ

SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS

“Mahasuci Dzat yang Merajai lagi Mahasuci.”

Hadis Selengkapnya:

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam shalat witir, beliau membaca: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS. (HR. Abu Daud 1430; dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat Nasa’i dari Abdurrahman bin Abza radhiyallahu ‘anhu, terdapat tambahan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ» ثَلَاثًا، وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir dengan membaca surat Al-A’la (rakaat pertama), surat Al-Kafirun (rakaat kedua), dan surat Al-ikhlas (rakaat ketiga). Setelah salam, beliau membaca: subhaanal malikil qudduus, 3 kali. Beliau keraskan yang ketiga. (HR. Nasa’i 1732 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, terdapat tambahan:

… طَوَّلَ فِي الثَّالِثَةِ

“Beliau baca panjang yang ketiga.” (HR. Nasa’i 1734 dan dishahihkan al-Albani)

Tambahan “Rabbil Malaaikati war Ruuh

Disebutkan dalam riwayat Thabrani adanya tambahan:

رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH

Tuhan para malaikat dan ar-Ruh

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

فِي الْأَخِيرَةِ يَقُولُ: رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

Di bagian akhir beliau membaca: RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH. (HR. Ad-Daruquthni 1660. Dalam Fatwa islam (no. 14093) dinyatakan: sanadnya shahih, dan disebutkan Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad (1/323)).

Keterangan:

Dari beberapa riwayat di atas, dapat kita simpulkan terkait bacaan doa ini:

1. Doa ini dibaca tepat setelah salam shalat witir

2. Doa ini dibaca tiga kali

3. Pada bacaan kali ketiga, dikeraskan dan dipanjangkan “Subhaaanal malikil qudduuuuu … ss”.

4. Disambung dengan membaca “Rabbil malaaikati war ruuh…

Kalimat: “Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh

Kalimat termasuk salah satu doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika rukuk atau sujud.

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبوح قدوس، رب الملائكة والروح

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa ketika rukuk dan sujud beliau: Subbuuhun qudduusun…dst. (HR. Muslim 487).

Mengingat lafadz Subbuuhun qudduusun adalah doa sujud atau rukuk ketika shalat, sehingga tambahan ini tidak ada hubungannya dengan shalat witir. Karena tidak perlu dibaca seusai witir.

Allahu a’lam

Doa Kedua

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِـمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَـتِكَ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ ، كَمَا أَثْــــنَــــيْتَ عَلَى نَــــفْسِكَ

ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK, WA BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A-‘UUDZU BIKA MIN-KA, LAA UH-SHII TSA-NAA-AN ‘ALAIKA ANTA, KAMAA ATS-NAITA ‘ALAA NAFSIK

“Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak bisa menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”

Hadis selengkapnya:

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي وِتْرِهِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،…

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung shalat witirnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. An-Nasa’i 1747, Abu Daud 1427, dan Turmudzi 3566; dinilai shahih oleh al-Albani)

Kapankah doa ini dibaca?

Pada hadis di atas tidak dijelaskan kapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa tersebut ketika shalat witir. Dalam catatan untuk Sunan An-Nasa’i, As-Sindi mengatakan:

قوله: ” كان يقول في آخر وتره”: يحتمل أنه كان يقول في آخر القيام ، فصار هو من القنوت ؛ كما هو مقتضى كلام المصنف، ويحتمل أنه كان يقول في قعود التشهد ، وهو ظاهر اللفظ

Keterangan beliau “di penghujung shalat witirnya, beliau membaca…” mungkin maknanya adalah beliau baca di akhir tahajud, sehingga itu termasuk doa qunut, sebagaimana isyarat keterangan An-Nasa’i, mungkin juga dimaknai bahwa doa ini dibaca ketika duduk tasyahud akhir, dan ini makna yang tersirat dari hadis tersebut. (Dinukil dari Bughyatul Mutathawi’, hlm. 30).

Akan tetapi disebutkan dalam kitab Amalul Yaum wa Lailah karya an-Nasai, demikian pula ibnu Sunni, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

بت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة ، فكنت أسمعه إذا فرغ من صلاته وتبوأ مضجعه يقول : اللهم إني أعوذ بمعافاتك من عقوبتك …

Saya menginap di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam. Ketika beliau usai shalat dan bersiap di tempat tidurnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, … dst. (Muntaqa Amalul Yaum wa Lailah An-Nasai, Hal. 25).

Diantara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau kembali ke tempat tidur seusai melaksanakan shalat tahajud. Sambil mempersiapkan tempat tidurnya, beliau membaca doa tersebut.

Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

فَقَدْتُ رَسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَقَدَمَاهُ مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،

Saya kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan sedang sujud, dan dua kaki beliau dipancangkan , sementara beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. Ahmad 25655, An-Nasa’i 1100, Ibn Majah 3841, Ibnu Hibban dalam shahihnya 1932, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya 655, dan dishahihkan al-Albani)

Kesimpulan:

Berdasarkan dua riwayat ini, dapat kita simpulkan bahwa ada dua tempat untuk membaca doa ini ketika witir atau tahajud:

a. Setelah shalat witir

b. Ketika sujud dalam shalat

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

KEUTAMAAN SHOLAT SUNNAH ROWATIB DAN HUKUM-HUKUMNYA

KEUTAMAAN SHOLAT SUNNAH ROWATIB DAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

 

Diriwayatkan dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, seorang istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

“Tidaklah seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah 12 (dua belas) raka’at karena Allah pada setiap harinya, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.”. (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata; “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah lagi meninggalkan shalat-shalat sunnah (rowatib) tersebut.” (HR. Muslim no. 728).

(*) BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH DARI HADITS INI:

1) Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan dan keagungan pahala shalat sunnah rawatib.

2) Keutamaan shalat sunnah rawatib bisa didapatkan oleh seorang muslim n muslimah dengan menunaikan seluruh shalat tersebut atau sebagiannya sj.

Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan oleh Ummu Habibah radhiyallahu anha di atas. Dan jg berdasarkan hadits-hadits shohih berikut ini:

(*) Dari Ummu Habibah radhiyallahu anha, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda (yg artinya): “Barangsiapa menjaga 4 raka’at sebelum sholat Zhuhur dan 4 rakaat setelahnya maka ia akan dijauhkan dari api neraka.”(HR. Abu Dawud dan dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani rahimahullah).

 

(*) Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda (yg artinya): “2 rakaat (sebelum) Subuh itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim).

3) Shalat sunnah rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu yang lima waktu.

4) Sholat sunnah Rowatib berjumlah 12 (dua belas) roka’at pada setiap harinya, yaitu:

4 raka’at sebelum shalat Zhuhur,
2 raka’at sesudah sholat Zhuhur,
2 raka’at sesudah sholat Maghrib,
2 raka’at sesudah sholat Isya’ dan
2 raka’at sebelum sholat Shubuh.

 

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits yg diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha.

 

CATATAN: Untuk 4 raka’at sebelum Zhuhur, maka yg sesuai sunnah n lebih utama ialah dikerjakan dengan cara 2 raka’at + 2 raka’at.

 

5) Wajibnya mengikhlaskan setiap amal ibadah karena mengharap pahala n ridho Allah Ta’ala semata. Sbgmn ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits ini ” لِلَّهِ” (Karena Allah).

 

6) Keutamaan melaksanakan amal ibadah secara kontinyu meskipun hanya sedikit, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Habibah radhiyallahu anha.

 

Dan di dalam hadits yg shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

(Ahabbul A’maali ilallahi Adwamuha wa in Qolla)

Artinya: “Amalan (ibadah) yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.”. (HR. al-Bukhari no. 6099, dan Muslim no. 783).

 

7) Shalat sunnah dan ibadah-ibadah sunnah lainnya memiliki faedah n keutamaan yg besar, yaitu dapat menutupi kekurangan yang ada pada shalat atau ibadah-ibadah yg hukumnya wajib.

 

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda (yg artinya):
“Sesungguhnya (amalan) yang pertama kali dihitung dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib. Apabila nilai shalat wajibnya
sempurna maka sempurna pula balasannya. Namun apabila tidak sempurna maka dikatakan: Lihatlah! Apakah orang ini memiliki perhitungan shalat sunnah? Apabila ia memiliki perhitungan shalat sunnah maka kekurangan pada shalat wajibnya akan disempurnakan oleh shalat sunnahnya.
Selanjutnya berlaku demikian pada seluruh amalan (ibadah) wajib lainnya.”(HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi. Hadits ini dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani rahimahullah).

 

Oleh karena itu, tidak sepantasnya bagi kita untuk meremehkan ibadah-ibadah sunnah setelah dapat menunaikan ibadah-ibadah yg wajib. Apalagi ibadah-ibadah wajib yg kita kerjakan masih sangat jauh dari nilai sempurna baik secara lahir maupun batin.

 

8) Mengerjakan Shalat sunnah rawatib di dalam rumah itu lebih baik n lebih utama daripada di masjid. Bahkan sekalipun dibandingkan dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

 

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

(Ij’aluu min sholaatikum fi Buyuutikum, wa Laj’aluuha Qubuuron)

 

Artinya: “Jadikanlah sebagian dari sholat-sholat (sunnah) kalian di dalam rumah kalian, dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Imam Al-Bukhari dan Muslim).

 

Dan di dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

(Fasholluu Fi Buyuutikum ayyuhan-naasu Fa inna Afdhola ash-Sholaati Sholaatu al-mar’i Fi Baitihi illa al-Maktuubah)

 

Artinya: “maka hendaklah kalian menunaikan shalat di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Imam al-Bukhari dan Muslim).

 

CATATAN: Sholat sunnah rowatib lebih utama dikerjakan di dalam rumah daripada di masjid jika tidak dikhawatirkan terlambat dari sholat berjamaah bersama imam. Adapun jk dikhawatirkan terlambat, maka yg lebih utama adalah melaksanakannya di masjid agar ia mendapatkan beberapa keutamaan, diantaranya:

a. Keutamaan sholat sunnah rowatib,

b. Keutamaan sholat fardhu berjama’ah, dan

c. Keutamaan sholat di shof pertama.

 

9) Apabila seseorang sedang menunaikan shalat sunnah rawatib kemudian terdengar kumandang iqamah sholat, maka hendaknya dia putuskan shalat sunnahnya tersebut. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasululullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

(Idzaa uqiimat ash-sholaatu Fa Laa Sholaata illa al-Maktuubah)

 

Artinya: “Apabila iqomah sholat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat yang wajib.”. (Hadits ini dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dlm kitab Irwa’ al-Gholil).

 

10) Bila seseorang dalam keadaan safar (bepergian jauh), maka tidak dianjurkan baginya untuk melakukan sholat sunnah rowatib.

 

Hal ini berdasarkan hadits shohih yg diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.

 

Adapun shalat sunnah rawatib 2 rakaat sebelum shalat Subuh, maka seorang musafir sangat dianjurkan untuk melaksanakannya. Hal ini berdasarkan hadits Shohih yg diriwayatkan oleh imam al-Bukhari rahimahullah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

 

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Diantara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika safar yaitu mencukupkan dengan menunaikan shalat wajib saja. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau menunaikan shalat sunnah baik sebelum maupun sesudah shalat wajib. Dikecualikan dari hal ini adalah shalat witir dan shalat sunnah (rowatib) sebelum Subuh.” (Lihat kitab Zaadul Ma’ad dengan dinukil dari kitab al-Mulakhash al-Fiqhi karya syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan).

 

Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak pernah diriwayatkan sebuah dalil tentang ditinggalkannya shalat sunnah sepanjang yang kami ketahui kecuali shalat sunnah rawatib Zhuhur, Maghrib, dan ‘Isya’.” (Lihat Shifat al-Hajj hal.13)

 

11)  Apabila seseorang telah selesai menunaikan shalat wajib, maka hendaknya ia tidak menunaikan shalat sunnah rawatib secara langsung tanpa diselingi dengan zikir setelah shalat wajib, atau pembicaraan tertentu atau beranjak ke tempat lain.

 

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh seorang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menunaikan shalat Ashar. Lalu seseorang berdiri untuk menunaikan shalat (sunnah). Ternyata Umar bin Khoththob melihat orang tersebut dan berkata: “Duduklah! Sesungguhnya celakanya Ahlul Kitab itu karena tidak adanya sela di antara shalat mereka.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (yg artinya): “(Umar) Ibnul Khaththab telah berbuat baik.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah karya syaikh Al-Albani, no. 2549).

 

Demikian beberapa hukum sholat sunnah rowatib dan pelajaran penting serta faedah ilmiyah yg dapat kami sebutkan dari hadits ini. Semoga menjadi ilmu yg bermanfaat. Dan semoga Allah memberikan taufiq-Nya kpd kita semua utk dapat melaksanakan setiap amal ibadah yg diridhoi n dicintai-Nya dengan ikhlas n sesuai tuntunan Nabi-Nya hingga akhir hayat.
(Artikel ini ditulis untuk BlackBerry Grup Majlis Hadits. PIN:296A5B45)

Waktu Shalat (5), Shalat Subuh

Waktu Shalat (5), Shalat Subuh

waktu_shalat_shubuh_fajar

Waktu shalat Shubuh atau shalat Fajar adalah bahasan kita yang terakhir. Waktu shalat Shubuh ini diawali ketika terbit fajar shodiq dan berakhir ketika matahari terbit. Namun shalat Shubuh lebih afdhol dilakukan di awal waktu (lebih awal, lebih baik).

Waktu Shalat Shubuh (Shalat Fajar)

Sebagaimana disebutkan dalam matan Abi Syuja’, “Awal waktu shalat Shubuh adalah saat terbit fajar kedua (fajar shodiq). Akhir waktunya -yang disebut waktu ikhtiyar (pilihan)- adalah sampai isfaar. Akhir waktu jawaz (bolehnya) adalah sampai matahari terbit.”

Awal waktu shalat Fajar (shubuh) adalah mulai dari terbit fajar shadiq. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr berikut,

وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ

Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq).” (HR. Muslim no. 612).

Fajar sendiri ada dua macam yaitu fajar shodiq dan fajar kadzib. Pancaran cahaya yang menjulang seperti ekor serigala dan setelah itu masih terlihat gelap, ini yang disebut fajar kadzib (fajar pertama). Sedangkan cahaya yang mendatar horizontal di ufuk, ini yang disebut fajar shodiq (fajar kedua). (Lihat bahasan di Kifayatul Akhyar, hal. 81 dan Al Iqna’, 1: 200).

Sedangkan akhir waktu shalat Shubuh, ada yang disebut waktu ikhtiyar. Waktu ikhtiyar adalah waktu akhir yang dipilih oleh Jibril ketika ia mengimami Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hari kedua. Di akhir hadits disebut, “Waktu shalat adalah antara dua waktu ini”, yaitu antara waktu pada hari pertama dan waktu kedua. Waktu akhir inilah yang disebut waktu ikhtiyar (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 81 dan Al Iqna’, 1: 201). Waktu ikhtiyar-nya adalah pada saat isfaar, yaitu ketika mulai terang (lihat Fathul Qodir, hal. 69 dan Al Iqna’, 1: 200). Dalil yang menunjukkan akhir waktu ikhtiyar adalah hadits tentang shalat Jibril yang mengimami Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pada hari kedua,

وَصَلَّى بِىَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ

Kemudian ia shalat Shubuh bersamaku setelah itu waktu isfaar

Adapun waktu jawaz atau bolehnya adalah sampai matahari terbit. Yang dimaksud terbit adalah muncul sebagian matahari. Hal ini berbeda dengan tenggelamnya matahari yang dipersyaratkan semuanya harus tenggelam (Lihat Al Iqna’, 1: 201). Waktujawaz ini disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr,

صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ

Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq) selama matahari belum terbit

Ulama Syafi’iyah membagi waktu Shubuh menjadi enam waktu:

(1) waktu fadhilah (utama), yaitu di awal waktu.

(2) waktu ikhtiyar (pilihan), yaitu sebagaimana waktu awal dan akhir yang dipraktekkan Jibril ketika menemani Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, waktunya adalah hingga waktu isfaar (mulai terang).

(3) waktu jawaz bi laa karohah (boleh dan tidak makruh), yaitu hingga muncul cahaya merah di ufuk (sebelum matahari terbit).

(4) waktu karohah (makruh), yaitu mulai muncul cahaya merah di ufuk hingga matahari terbit.

(5) waktu haram, yaitu di luar waktunya.

(6) waktu dhoruroh bagi orang yang udzur. (Lihat Al Iqna’, 1: 201)

Shalat Shubuh ini disunnahkan dilakukan di awal waktu. Di antara dalilnya adalah perkataan ‘Aisyah,

كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلاَةَ ، لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

Para wanita mukminah dahulu pernah menghadiri shalat Shubuh berjama’ah di belakang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan mengerudungi kepala dengan kain.  Kemudian mereka kembali ke rumah masing-masing ketika shalat telah selesai. Mereka tidak dikenali seorang pun karena keadaan masih gelap (pagi buta).” (HR. Bukhari no. 578).

Hal di atas dikuatkan lagi dengan hadits berikut,

عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً

Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Kami pernah bersahur bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian kami berdiri untuk menegakkan shalat.” Aku (Anas) bertanya pada Zaid, “Berapa lama waktu antara makan sahur dan waktu shalat akan ditegakkan?” Zaid menjawab, “Sekitar (membaca) 50 ayat.” (HR. Muslim no. 1097). Jarak waktu antara selesai makan sahur dan masuknya waktu pelaksanaan shalat adalah sekitar membaca 50 ayat Qur’an, waktu seperti ini seperti lama waktu berwudhu. Ini menunjukkan bahwa shalat tersebut dilakukan di awal waktu Shubuh (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 249-250).

Demikian bahasan kami mengenai waktu-waktu shalat. Semoga dengan mengetahui hal ini kita dapat menunaikan shalat pada waktunya. Semoga Allah memudahkan kita pula untuk beramal sholih. Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Referensi:

Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, Mesir.

Fathul Qorib Al Mujib fii Syarh Alfazhith Taqrib, Syamsuddin Muhammad bin Qosim bin Muhammad Al Ghozziy, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, 1425 H.

Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husainniy Al Hushiniy Al Dimasyqiy Asy Syafi’iy, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, Mesir.

 

@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 20 Dzulhijjah 1433 H

Sumber : www.rumaysho.com