Fikih Haji (4): Wajib Haji

WAJIB HAJI

Ada beberapa wajib haji:

  1. Ihram dari miqot.
  2. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
  3. Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.
  4. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
  5. Melempar jumroh secara berurutan.
  6. Mencukur habis atau memendekkan rambut.
  7. Thowaf wada’.

Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.

Wajib pertama: Ihram dari miqot.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot, beliau bersabda,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181)

Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.

Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.

Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah

Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ

Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)

Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib.  Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”

Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga  tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).

Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj, 416-417).

Wajib keempat: Melempar Jumroh

Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).

Wajib kelima: Mabit di Mina pada Hari-Hari Tasyriq

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).

Wajib keenam: Mencukur atau Memendekkah Rambut

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,

وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ

Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)

Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,

مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).

Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Wajib ketujuh: Thowaf Wada’

Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no. 1328).

Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).

Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).

 

-bersambung insya Allah-

Dari artikel Muhammad Abduh Tuasikal untuk blog Abu aburrohman

Cara Mudah Memahami Fiqh Umroh

بسم الله الرحمن الرحيم

Cara Mudah Memahami Fiqh Umroh

Memahami fiqh umroh dalam waktu kurang dari 1/2 menit dalam 4 poin berikut:

  1. Ihram dari miqot
  2. Thawaf sebanyak 7 putaran mengelilingi kakbah
  3. Sa’yu sebanyak 7 putaran antara Shafa dan Marwa
  4. Memendekkan atau mencukur rambut

Dengan melakukan 4 poin ini saja umroh sudah sah meskipun tanpa ditambahi dengan amalan-amalan lainnya. Akan tetapi untuk kesempurnaannya insya Allah akan kami jelaskan dalam rincian berikut.

Waktu Melakukan Umroh

Waktu melakukan umroh adalah seluruh waktu dalam setahun.

Tempat Memulai Umroh (dan Haji)

Tempat memulai umroh (dan Haji) yang biasa disebut miqot (makani) adalah tempat-tempat yang diwajibkan untuk memulai melakukan ihram di situ, jika seorang yang berniat umroh atau haji melewati tempat tersebut tanpa melakukan ihram (yaitu berniat mulai melakukan amalan-amalan umroh atau haji) dan tanpa melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka wajib atasnya hadyu, berupa menyembelih seekor kambing dan membaginya kepada fakir miskin Mekkah, tanpa mengambil bagian darinya sedikitpun.

Adapun miqot-miqot itu ada lima:

  1. Dzul Hulaifah (sekarang dinamakan Bi’r ‘Ali), miqot penduduk kota Madinah dan yang melalui rute mereka).
  2. Al-Juhfahmiqot penduduk Saudi Arabia bagian utara dan negara-negara Afrika Utara dan Barat, negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina) dan yang melewati rute mereka.
  3. Qarnul Manazil (sekarang dinamakan As-Sail) dan Wadi Muhrim (bagian atasQarnul Manazil), miqot penduduk Najed, selatan Saudi di seputar pegunungan Sarat, negara-negara Teluk, Irak, Iran dan yang melewati rute mereka.
  4. Yalamlam (sekarang dinamakan As-Sa’diyyah), miqot penduduk negara Yaman, Indonesia, Malaysia, negara-negara sekitarnya dan yang melewati rute mereka.
  5. Dzatu ‘Irqin (sekarang dinamakan Adh-Dharibah), miqot penduduk negeri Irak (Kufah dan Bashrah) dan yang melewati rute mereka.

Dan bagi orang-orang yang tinggal di Mekkah atau yang tinggal di tempat-tempat yang terletak setelah miqot-miqot di atas, boleh bagi mereka berihram untuk haji (baiktamattu’, qiron maupun ifrod) dari rumah masing-masing tanpa harus pergi ke miqot lagi. Adapun bagi penduduk Mekkah yang ingin melakukan umroh, mereka harus keluar ke daerah halal terdekat, seperti Tan’im dan yang lainnya, lalu berihram dari sana.

Urutan Amalan-amalan Umroh

Pertama: Ihram dari miqot

Ihram adalah berniat memulai pelaksanaan ibadah umroh atau haji. Tata caranya sebagai berikut:

  • Mendatangi miqot.
  • Disunnahkan untuk memotong kuku, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan.
  • Mandi seperti mandi janabat.
  • Menggunakan wewangian pada tubuh (pada bagian tubuh yang tidak terkena pakaian ihram) bila memungkinkan.
  • Mandi ini juga berlaku bagi wanita haid dan nifas.
  • Bagi yang miqotnya dilewati dengan kendaraan yang tidak mungkin berhenti seperti pesawat maka mandinya bisa dilakukan sejak dari rumah atau sebelum naik pesawat maupun setelah berada di pesawat.
  • Mengenakan pakaian ihram yang terdiri dari dua helai (yang afdhal berwana putih), yaitu sehelai disarungkan pada tubuh bagian bawah dan sehelai lagi diselempangkan pada tubuh bagian atas dengan menutup seluruh tubuh bagian atas termasuk kedua bahu.
  • Bagi yang miqotnya dilewati dengan kendaraan yang tidak mungkin berhenti seperti pesawat, maka pakaian ihramnya bisa dikenakan menjelang naik pesawat terbang atau setelah berada di atas pesawat terbang, meskipun jeda waktu yang agak lama dengan miqatnya agar ketika melewati miqat dalam kondisi telah mengenakan pakaian ihram.
  • Adapun pakaian ihram wanita adalah pakaian yang menutup seluruh auratnya yang sesuai dengan batasan-batasan syar’i.
  • Setelah mengenakan pakaian ihrom, lakukan sholat dua raka’at dengan niat sholat sunnah waudhu’.
  • Ketika masih berada di miqot, naik ke kendaraan lalu mulai berniat ihram untuk melakukan umrah dengan mengucapkan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً

Artinya: “Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umroh.”

Lalu membaca talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Artinya: “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”

  • Jika khawatir tidak bisa menyempurnakan seluruh rangkaian ibadah haji atau umroh hendaklah membaca:

فإن حبسني حابس فمحلّي حيث حبستني

  • Berangkat ke Mekkah
  • Memperbanyak ucapan talbiyah ini dengan mengeraskan suara sepanjang perjalanan ke Mekkah.
  • Berhenti mengucapkan talbiyah ketika menjelang thawaf.
  • Mengucapkan talbiyah secara berjama’ah dengan membentuk sebuahkoor termasuk perbuatan bid’ah.
  • Boleh memakai sandal, sepatu yang tidak menutupi mata kaki, cincin, kacamata, walkman, jam tangan, sabuk, dan tas yang digunakan untuk menyimpan uang dan barang-barang berharga lainnya.
  • Boleh mencuci pakaian ihram atau mengganti dengan pakaian ihram yang lain.
  • Sebelum masuk Mekkah, jika memungkinkan untuk mandi kembali
  • Hendaklah senantiasa menjalankan printah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya seperti perbuatan syirik, kefasikan, kata-kata keji dan kotor, berdebat untuk membela kebatilan, dan lain-lain.

Larangan-larangan ihram ada 9, yaitu:

  1. Memotong rambut (seluruh badan).
  2. Memotong kuku.
  3. Menggunakan wewangian (adapun menggunakan wewangian sebelumnya dilakukan sebelum ihram).
  4. Mengenakan penutup kepala yang menempel (yang tidak menempel seperti payung atau berteduh di bawah atap tidak mengapa).
  5. Mengenakan pakaian yang membentuk tubuh (yang diistilahkan oleh sebagian fuqaha dengan pakaian berjahit).
  6. Membunuh hewan tanah haram, bahkan diharamkan sekedar menakutinya atau membuat dia lari. Termasuk dalam hal ini mencabut atau merusak tumbuhan yang ditumbuhkan Allah Ta’ala (bukan yang ditanam manusia) di tanah haram.
  7. Akad nikah dan melamar atau menikahkan dan melamar untuk orang lain
  8. Berhubungan suami istri.
  9. Bercumbu antara suami istri, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Hukuman bagi yang melanggar 9 larangan di atas terbagi 5 bentuk:

  1. Melakukan pelanggaran nomor 1-5 maka hukumannya adalah membayar fidyah berupa menyembelih seekor kambing atau memberi makan 6 orang miskin (setiap orang dapat 1/2 sho’) atau berpuasa 3 hari. Boleh memilih.
  2. Melakukan pelanggaran nomor 6 maka hukumannya hendaklah menyembelih yang semisalnya dari hewan yang biasa digunakan untuk zakat lalu bersedekah dengannya dan tidak boleh makan darinya sedikitpun. Atau menakarnya dengan makanan dan membaginya kepada fakir miskin, setiap orang mendapat 1/2 sho’. Atau berpuasa selama sejumlah orang-orang miskin tersebut. Jika yang melanggar tidak menemukan hewan yang semisalnya baru dia diberi pilihan apakah memberi makan ataukah puasa.
  3. Melakukan pelanggaran nomor 7 tidak ada fidyah namun berdosa jika dilakukan bukan karena lupa atau tidak tahu dan nikahnya dihukumi sebagai nikah syubhat, harus diulang setelah ihram. Dan hendaklah bertaubat kepada Allah Ta’ala.
  4. Melakukan pelanggaran nomor 8 (berhubungan suami sitri), apabila sebelum tahallul awwal (pada haji) maka hajinya tidak sah dan wajib membayar fidyah dengan menyembelih seekor unta dan dibagikan bagi fakir miskin di haram dan wajib mengqodho’ haji tersebut di tahun depan. Apabila dilakukan setelah tahalul awwalmaka hajinya sah berdasarkan ijma’ dan baginya fidyah berupa menyembelih seekor kambing. Adapun umroh jika pelanggarannya dilakukan sebelum tawaf atau sa’yumaka batal umrohnya, hendaklah melakukan umroh lagi sebagai ganti, yaitu keluar lagi ke miqot dan wajib baginya fidyah menyembelih seekor kambing. Jika dilakukan pada umroh setelah thawaf dan sa’yu (yakni sebelum memendekkan atau mencukur rambut) maka umrohnya sah dan wajib baginya fidyah.
  5. Melakukan pelanggaran nomor 9, jika seorang bercumbu dengan istrinya di selain kemaluannya, walaupun sampai mengeluarkan mani, maka hajinya tidak sampai batal, hendaklah dia menyembelih unta jika hal itu dilakukan sebelum tahalul awal. Jika setelahnya, hendaklah menyembelih kambing. Bagi wanita sama hukumanya dengan laki-laki kecuali jika dia dipaksa.

Hukuman-hukuman di atas berlaku bagi orang yang sengaja melakukannya baik karena butuh atau tidak. Adapun yang tidak tahu hukumnya atau karena lupa maka tidak ada hukuman baginya dan hajinya tetap sah.

Kedua: Thawaf sebanyak 7 putaran mengelilingi kakbah

  • Tiba di Masjidil Haram Makkah, pastikan telah bersuci dari najis dan hadats (sebagai syarat thawaf).
  • Disunnahkan untuk beristirahat sejenak sebelum memulai thawaf
  • Masuk dengan kaki kanan dan membaca:

أعوذ بالله العظيم، وبوجهه الكريم، وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم بسم الله والصلاة، والسلام على رسول الله، اللهم افتح لي أبواب رحمتك

  • Keluar masjid membaca:

بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله، اللهم إني أسألك من فضلك اللهم اعصمني من الشيطان الرجيم

Kedua lafazh ini adalah doa masuk dan keluar masjid yang umum, berlaku bagi semua masjid.

  • Melakukan idhthiba’. Caranya, selempangkan pakaian atas ke bawah ketiak kanan dan membiarkan pundak kanan terbuka dan pundak kiri tetap tertutup (hal ini khusus bagi laki-laki dan khusus pada thawaf qudum dan thawaf umroh). Adapun selainnya tidak disyari’atkan.
  • Segera menuju Hajar Aswad, menghadapnya, menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya tanpa ada suara ciuman. Jika tidak memungkinkan, hendaklah menyentuhnya dengan tangan kanan dan mencium tangan yang menyentuhnya. Jika tidak memungkinkan maka dengan tongkat dan sejenisnya lalu mencium tongkat tersebut. Jika tidak memungkinkan maka cukup berisyarat kepadanya.
  • Jika seorang bisa menciumnya maka hendaklah dia membaca,“Bismillahi Allahu Akbar”. Jika berisyarat kepadanya sambil membaca, “Allahu Akbar”.
  • Lakukan thawaf sebanyak 7 putaran mengelilingi kakbah. Mulai dari Hajar Aswad dengan memosisikan kakbah di sebelah kiri, sambil mengucapkan bacaan di atas.
  • Dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad lagi, terhitung 1 putaran.
  • Disunnahkan berlari-lari kecil dengan mendekatkan langkah-langkah (raml) pada tiga putaran pertama (hal ini disunnahkan pada thawaf umroh dan thawaf qudum pada haji).
  • Raml dan idhthiba’ tidak disyari’atkan untuk wanita.
  • Disunnahkan setiap kali berada di antara dua rukun, yaitu Rukun Yamani dan Hajar Aswad, untuk membaca:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari adzab api neraka.”

  • Disunnahkan setiap kali sejajar dengan Hajar Aswad untuk melakukan sebagaimana ketika mulai pertama kali, sampai pun pada putaran terakhir.
  • Tidak disyari’atkan untuk mengusapkan tangan ke badan setelah mengusap Hajar Aswad maupun Rukun Yamani.
  • Disunnahkan setiap kali sejajar dengan Rukun Yamani untuk menyentuhnya tanpa dicium, sambil mengucapkan, “Bismillahi Allahu Akbar”. Jika tidak memungkinkan untuk menyentuhnya maka tidak disyari’atkan untuk berisyarat kepadanya dan tidak pula mencucapkan tasmiyyah dan takbir.
  • Disyari’atkan sepanjang thawaf untuk memperbanyak dzikir dan doa, namun tidak ada dzikir dan doa khusus yang disunnahkan selain bacaan-bacaan yang telah kami sebutkan di atas.
  • Janganlah berdesak-desakan untuk mencapai Hajar Aswad atau Rukun Yamani, sehingga menyakiti kaum muslimin. Padahal mencium Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani hukumnya sunnah, sedangkan menyakiti kaum muslimin adalah haram.
  • Juga tidak boleh bagi wanita berdesak-desakan dengan laki-laki, melainkan mereka berjalan di belakang kaum laki-laki.
  • Tidak boleh bagi wanita membuka wajahnya jika terdapat laki-laki asing, hendaklah dia menutupi wajahnya dengan kerudungnya (bukan dengan niqob, kain yang menempel di wajahnya)
  • Tidak mengapa melakukan thawaf di belakang zam-zam dan di seluruh masjid (termasuk di lantai atas dan atap), terutama ketika sangat ramai, namun lebih dekat ke kakbah yang lebih afdhal.
  • Jika tidak mampu thawaf sambil berjalan, tidak mengapa mengendarai kendaraan atau digendong.
  • Selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani tidak disyari’atkan untuk disentuh dan tidak pula ada bacaan tertentu ketika melewatinya.
  • Tidak disyari’atkan menyentuh Maqom Ibrahim, dinding kakbah dan kiswahnya.
  • Berdoa kepada kakbah adalah syirik besar.
  • Tidak ada lafazh niat thawaf.
  • Jika terjadi keraguan pada jumlah putaran thawaf, ambil hitungan yang paling sedikit, lalu menambah putaran yang masih kurang.
  • Jika telah dikumandangkan iqomah sholat hendaklah memutuskanthawaf dan melakukan sholat, setelah sholat dilanjutkan kembali, tanpa harus memulai dari awal kembali.
  • Jika batal wudhu’ sebelum selesai thawaf hendaklah berwudhu’ dan memulai thawaf dari hitungan pertama.
  • Setelah thawaf, tutup kembali pundak kanan dengan pakaian ihram bagian atas seperti sebelum thawaf.
  • Pergi ke Maqom Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim ‘alaihissalamketika membangun Kakbah) lalu membaca:

وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

  • Lalu sholat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim walaupun tidak tepat di belakangnya. Jika tidak memungkinkan maka lakukan sholat di mana saja di Masjidil Haram. Lakukan sholat ini walaupun bertepatan dengan waktu-waktu yang dilarang untuk sholat. Jika lupa mengerjakannya maka tidak ada kewajiban fidyah.
  • Disunnahkan pada raka’at pertama membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun. Raka’at kedua membaca surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlash. Dan tidak ada doa khusus sebelum dan selesai sholat.
  • Lalu minum zam-zam dan siramkan sebagiannya ke kepala.
  • Jika memungkinkan untuk kembali menyentuh atau mencium Hajar Aswad. Jika tidak, maka tidak perlu berisyarat kepadanya.
  • Lalu pergi ke bukit Shafa untuk melakukan sa’yu.

Ketiga: Sa’yu sebanyak 7 putaran antara Shafa dan Marwa

  • Jika telah mendekati Shafa membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِاللهِ

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu termasuk dari syi’ar-syi’ar Allah.” (Al-Baqarah: 158)

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

Artinya: “Aku memulai (sa’yu) dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni disebutkan dulu Shafa lalu Marwah).”

  • Masih di Shafa, jika memungkinkan untuk menaikinya, lalu menghadap kakbah dan mengucapkan:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, Dzat yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, yang telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya dan menghancurkan bala tentara kafir tanpa bantuan siapa pun.”

Dibaca 3 kali, setiap kali selesai salah satunya, disunnahkan untuk berdoa kepada Allah Ta’ala sesuai keinginan kita sambil mengangkat tangan.

  • Setelah itu berjalan ke Marwah, ketika lewat di antara dua tanda hijau langkah dipercepat. Namun bagi wanita tetap berjalan seperti biasa. Dan boleh naik kendaraan dalam melakukan sa’yu jika terdapatmasyaqqoh.
  • Tiba di Marwah telah dianggap melakukan satu putaran (kembalinya ke Marwah juga terhitung satu putaran). Berdiri di Marwah dan lakukan seperti yang dilakukan di Shafa.
  • Setelah itu kembali lagi ke Shafa dan seterusnya sampai 7 putaran yang berakhir di Marwah.
  • Boleh melakukan sa’yu di lantai atas.
  • Tidak mengapa bagi orang yang mendahulukan sa’yu sebelum thawafkarena tidak tahu atau lupa.
  • Disyari’atkan untuk memperbanyak dzikir dan doa ketika melakukansa’yu. Dan menghindari perkataan dosa dan perkataan sia-sia.
  • Disunnahkan melakukan sa’yu dalam keadaan suci, jika dilakukan dalam keadaan berhadats maka tidak mengapa. Sehingga jika seorang wanita haid setelah thawaf, bolah baginya melakukan sa’yu.
  • Sa’yu tidak disyari’atkan pada selain haji dan umroh. Berbeda denganthawaf, boleh melakukannya kapan saja.

Keempat: Memendekkan atau mencukur rambut

  • Setelah melakukan sa’yu, segera memendekkan atau mencukur rambut secara merata.
  • Tidak cukup memendekkan atau mencukur sebagian, namun harus seluruh rambut secara merata.
  • Mencukur lebih afdhal dibanding memendekkan, kecuali yang melakukan umroh untuk haji tamattu’, lebih afdhal baginya memendekkan, untuk kemudian mencukur pada tanggal 10 Dzulhijjah.
  • Bagi wanita hanya memotong pada ujung-ujung rambutnya sepanjang kuku.
  • Dengan ini, telah masuk pada tahallul, telah halal semua yang tadinya diharamkan ketika ihram. Selesailah rangkaian ibadah umroh.

Walhamdulillahi Rabbil’alamiin.

Rujukan:

  1. Catatan pribadi dari pelajaran fiqh pada kitab Ad-Durorul Bahiyyah karya Al-Imam Asy-Syaukanirahimahullah di Al-Madrasah As-Salafiyyah Depok yang disampaikan Al-Ustadz Abdul Barrhafizhahullah, 1430 H.
  2. Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah fi Masaailil ‘Ibaadat wal Mu’aamalaat min Fatawa Samaahatil ‘Allaamah Al-Imam ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz–rahimahullah-, ikhtaaroha Khalid bin Su’ud Al-‘Ajmi hafizhahullah, BabShifatul Hajj, hal. 322-352. Cetakan ke-6, 1431 H.
  3. Bayaanu maa yaf’aluhul Haaj wal Mu’tamir, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, terbitan Kantor Pusat Haiah Al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, 1430 H.
  4. Tabshirun Naasik bi Ahkaamil Manasik ‘ala Dhauil Kitab was Sunnah wal Ma’tsur ‘anis Shahaabah, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badrhafizhahullah, cetakan ke-3, 1430 H.
  5. Jami’ul Manasik, karya Asy-Syaikh Sulthan bin AbdurRahman Al-‘Iedhafizhahullah, cetakan ke-3, 1427 H.

Sumber Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray