DOWNLOAD VIDEO : Adab Masjid: Adab Berjalan ke Masjid

Adab Masjid: Adab Menuju Masjid

Dalam rangka memotivasi kaum muslimin untuk memakmurkan masjid, Allah memberikan banyak janji dan keutamaan bagi orang yang menghadiri shalat jamaah. Di antaranya:

1. Hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وما من رجل يتطهر فيحسن الطهور ثم يعمد إلى مسجد من هذه المساجد إلا كتب الله له بكل خطوة يخطوها حسنة،ويرفعه بها درجة،ويحطّ عنه بها سيئة

Jika seseorang wudhu dengan sempurna, kemudian menuju masjid maka Allah akan mencatat setiap langkahnya sebagai pahala untuknya, mengangkat derajatnya, dan menghapuskan dosanya.. (HR. Muslim)

 

2. Hadis dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

من توضأ للصلاة فأسبغ الوضوء ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس، أو مع الجماعة، أو في المسجد غفر الله له ذنوبه

Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia menuju masjid untuk shalat fardhu. Lalu dia ikut shalat berjamaah atau shalat di masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya. (HR. Muslim)

Untuk menyempurnakan pahala Anda ketika menuju masjid, berikut beberapa adab yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berangkat ke masjid:

Pertama, berwudhulah dari rumah, dan bukan di masjid

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa keadaan yang sesuai sunnah adalah berwudhu di rumah dan bukan di masjid. Di antaranya adalah hadis Utsman di atas, “Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya, kemudia dia menuju masjid untuk shalat fardhu
Dzahir hadis ini, wudhu tersebut dilakukan sebelum berangkat menuju masjid, itu artinya,wudhu tersebut dilakukan di rumah.

Di samping itu, terdapat dalil tegas yang menunjukkan hal ini. Hadis dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من تطهّر في بيته ثم مشى إلى بيت من بيوت الله، ليقضي فريضة من فرائض الله

Siapa yang berwudhu di rumahnya kemudian berjalan menuju salah satu rumah Allah, untuk menunaikan shalat wajib… [dan seterusnya] (HR. Muslim)

Kedua, gunakan pakaian yang sopan, nan suci

Allah berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا

Wahai bani Adam, gunakanlah perhiasan kalian setiap kali menuju masjid, makan dan minumlah kalian.. (QS. Al-A’raf: 31)

Sebagai orang yang beriman, seharusnya kita merasa malu ketika mengenakan kaos atau pakaian tidak sopan ketika menuju masjid. Sementara kita sadar bahwa kita hendak menghadap Allah.

Ketiga, bacalah doa ketika keluar rumah

Di antara doa yang disyariatkan adalah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.

Membaca doa ini ketika keluar rumah memiliki keutamaan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

Apabila ada orang yang keluar dari rumahnya, kemudian dia membaca doa di atas, dikatakan kepadanya:

هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ

‘Kamu diberi petunjuk, kamu dicukupi, dan kamu dilindungi

maka setan-setanpun berteriak. Kemudian ada salah satu setan yang berkata kepada lainnya: “Bagaimana mungkin kalian bisa menggoda orang yang sudah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al-Albani)

Keterangan:
1. Doa ini sangat ringkas, mudah dibaca, namun keutamannya besar
2. Tidak dijumpai riwayat yang menganjurkan mengangkat tangan ketika membaca doa ini.

Keempat, gunakanlah sandal atau alas kaki lainnya dengan mendahulukan kaki kanan

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan, ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan yang lainnya)

Kelima, berjalanlah menuju masjid dengan tenang

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم السكينة والوقار، ولا تُسرعوا

“Apabila kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat dan kalian harus tenang, dan jangan buru-buru…” (HR. Bukhari & Muslim)

Di samping itu, dengan berjalan tenang, kita akan mendapatkan banyak pahala. Karena setiap langkah kaki kita dicatat sebagai pahala dan menghapus dosa.
Di antara hikmah larangan terburu-buru ketika shalat, agar kita tidak ngos-ngosan ketika melaksanakan shalat. Nafas tersengal-sengal ketika shalat, bisa menyebabkan shalat kita menjadi sangat terganggu.

Keenam, membaca doa ketika menuju masjid.

Doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menuju masjid sangat bervariasi. Ada yang panjang dan ada yang pendek. Sebagian ulama menganjurkan agar dibaca semuanya. Sehingga kita mendapatkan semua keutamaan dalam doa tersebut. Tapi, bagi yang kesulitan menghafalkan semua, bisa menghafalkan yang pendek, dan dibaca berulang-ulang.

Di antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,

اللهم اجعل في قلبي نوراً، وفي لساني نوراً، وفي سمعي نوراً، وفي بصري نوراً، ومن فوقي نوراً، ومن تحتي نوراً، وعن يميني نوراً، وعن شمالي نوراً، ومن أمامي نوراً، ومن خلفي نوراً، واجعل في نفسي نوراً، وأعظم لي نوراً، وعظِّم لي نوراً، واجعل لي نوراً، واجعلني نوراً، اللهم أعطني نوراً، واجعل في عصبي نوراً، وفي لحمي نوراً، وفي دمي نوراً، وفي شعري نوراً، وفي بشري نوراً

“Ya Allah, jadikanlah cahaya di hatiku, cahaya di lisanku, cahaya bagi pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, cahaya di jiwaku, perbesarlah cahayaku, jadikanlah untukku cahaya, jadikanlah aku penuh cahaya, ya Allah berikanlah aku cahaya, jadikanlah cahaya di ruas badanku, cahaya di dagingku, cahaya di darahku, cahaya di rambutku, dan cahaya di kulitku.”

اللهم اجعل لي نورا في قبري . . ونورا في عظامي

“Ya Allah, jadikanlah cahaya untukku di kuburku… cahaya di tulangku.”

وزدني نورا , وزدني نورا , وزدني نورا

Tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku…”

وهب لي نورا على نور

“Berikanlah aku cahaya di atas cahaya”

Semua doa di atas berdasarkan riwayat yang shahih, sebagaimana disebutkan dalam bukuHisnul Muslim, karya Dr. Said bin Wahf Al-Qahthani

Ketujuh, sesampainya di masjid, lepas sandal dengan mendahulukan kaki kiri.

Sunah ini dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُمْنَى، وَإِذَا خَلَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُسْرَى

Apabila kalian memakai sandal, mulailah dengan kaki kanan, dan jika melepas, mulailah dengan kaki kiri.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani)

Agar Anda tetap bisa masuk masjid dengan kaki kanan, setelah melepas sandal, kaki jangan langsung diinjakkan ke lantai masjid, tapi diinjakkan dulu ke tanah atau ke sandal kiri yang sudah dilepas. Kemudian naiklah ke lantai masjid dengan kaki kanan.

Kedelapan, masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan, ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan yang lainnya)
Para ulama mengatakan, semua kegiatan yang baik, dianjurkan mendahulukan bagian tubuh yang kanan. Termasuk dalam hal ini adalah mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, mengatakan,

من السنة إذا دخلت المسجد أن تبدأ برجلك اليمنى، وإذا خرجت أن تبدأ برجلك اليسرى

Termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika anda masuk masjid, anda mendahulukan kaki kanan dan ketika keluar anda mendahulukan kaki kiri.” (HR. Hakim, beliau shahihkan dan disetujui Ad-Dzahabi)

Kesembilan, berdoalah ketika masuk masjid

Ada banyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sekali lagi, sikap yang tepat adalah diamalkan semuanya. Berikut beberapa doa ketika masuk masjid,

بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ

“Bismillah, shalawat dan salam untuk Rasulillah.” (HR. Ibnu Sunni, Abu Daud, dan dishahihkan Al-Albani)

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Ya Allah, buka-kanlah pintu rahmatmu untukku.” (HR. Muslim)

أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan wajah-Nya yang Mulia, dengan kekuasan-Nya yang langgeng, dari godaan setan yang terkutuk.”

Untuk doa terakhir ini, terdapat keutamaan khusus:
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, beliau membaca doa di atas. Kemudian beliau bersabda,

فَإِذَا قَالَ: ذَلِكَ قَالَ الشَّيْطَانُ: حُفِظَ مِنِّي سَائِرَ الْيَوْمِ

“Jika orang membaca doa ini, maka setan berteriak, ‘Orang ini dilindungi dariku sepanjang hari.’” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)

Kesepuluh, shalat tahiyatul masjid, jika masih memungkinkan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ

“Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk, sampai shalat dua rakaat.” (HR. Muslim)
Itulah shalat tahiyatul masjid.

Kesebelas, jangan lupa untuk mendekati sutrah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Apabila kalian hendak shalat, laksanakanlah dengan menghadap ke sutrah, dan mendekatlah ke sutrah.
Sutrah bisa berupa tembok, tiang, atau benda-benda lainnya.

***

Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.CaraSholat.com

***

Lihat juga video Adab Berjalan ke Masjid Berikut Ini:

 

Video Adab Menuju Masjid (Persiapan Shalat Jamaah)

***
Disalin dari artikel CaraSholat.com untuk Blog Abu Abdurrohman

DOWNLOAD AUDIO MP3 : [Download Kajian & Artikel] Hukum Membuat Papan Khusus untuk Sutroh di Masjid dan Berjalan Ketika Sholat untuk Mencari Sutroh

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ada sebuah fenomena pada sebagian pemuda yang mau menerapkan sunnah namun dianggap aneh oleh masyarakatnya, bahkan tidak jarang terjadi perselisihan karena permasalahan tersebut, yaitu ketika pemuda ini kehilangan sutroh (pembatas dalam sholat) akibat (sering) datang terlambat sehingga selalu masbuq, maka pemuda inipun dengan semangat menjalankan sunnah berjalan dua atau tiga langkah ke depan untuk mencari sutroh.

Bahkan pada sebagian masjid yang jama’ahnya bersemangat untuk mengamalkan sunnah, telah dibuat papan khusus digunakan sebagai sutroh, baik untuk imam, maupun untuk diberikan kepada makmum yang masbuk yang kehilangan sutroh apabila jama’ah sholat di depannya telah pergi meninggalkan shofnya.

Alhamdulillah, semangatnya mengamalkan sunnah patut disyukuri, namun apakah hal itu benar-benar sebuah sunnah ataukah justru lebih baik meninggalkannya. Agar menjadi jelas permasalahan ini, berikut akan kami sebutkan fatwa-fatwa para ulama besar berkaitan dengan tiga perkara:

Pertama: Hukum sutroh.

Kedua: Hukum membuat papan khusus untuk sutroh di masjid.

Ketiga: Hukum berjalan dalam sholat untuk mencari sutroh.

Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Bazrahimahullah,

س: بعض المرشدين ينصبون كل منهم أمامه في المسجد سترة لوحا من الخشب طوله نصف متر تقريبا، ويقولون: من لم يفعل ذلك عليه إثم، فقلت لهم: وإذا لم أجد هذه السترة التي تنصبونها أمامكم، قالوا: لازم لازم؟

ج: الصلاة إلى سترة سنة في الحضر والسفر، في الفريضة والنافلة، وفي المسجد وغيره؛ لعموم حديث « إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها » رواه أبو داود بسند جيد ولما روى البخاري ومسلم من حديث أبي جحيفة رضي الله عنه « أن النبي صلى الله عليه وسلم ركزت له العنزة فتقدم وصلى الظهر ركعتين يمر بين يديه الحمار والكلب لا يمنع » وروى مسلم من حديث طلحة بن عبيد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم « إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل ولا يبال من مر وراء ذلك »

ويسن له دنوه من سترته لما في الحديث المذكور، وقد كان الصحابة رضي الله عنهم يبتدرون سواري المسجد ليصلوا إليهاالنافلة، وذلك في الحضر في المسجد، لكن لم يعرف عنهم أنهم كانوا ينصبون أمامهم ألواحا من الخشب لتكون سترة في الصلاة بالمسجد، بل كانوا يصلون إلى جدار المسجد وسواريه، فينبغي عدم التكلف في ذلك، فالشريعة سمحة، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه، ولأن الأمر بالسترة للاستحباب لا للوجوب، لما ثبت من « أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس بمنى إلى غير جدار » ولم يذكر في الحديث اتخاذه سترة، ولما روى الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من حديث ابن عباس رضي الله عنهما قال: « صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في فضاء وليس بين يديه شيء »

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

 اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو  عضو  نائب الرئيس  الرئيس

عبد الله بن قعود  عبد الله بن غديان  عبد الرزاق عفيفي  عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Pertanyaan: Sungguh aku menyaksikan sebagian pembimbing meletakkan di depan masing-masing mereka di masjid sebuah sutroh berupa papan yang terbuat dari kayu yang panjangnya sekitar setengah meter, dan mereka mengatakan, “Barangsiapa yang tidak menggunakan sutroh maka dia berdosa,” maka aku katakan kepada mereka,“Bagaimana jika aku tidak mendapatkan sutroh seperti yang kalian gunakan?” mereka mengatakan, “Harus, harus”?

Jawaban: Sholat menghadap sutroh hukumnya sunnah ketika mukim maupun safar, pada sholat wajib maupun sunnah, di masjid maupun di tempat lain. Berdasarkan keumumun hadits,

إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها

“Jika salah seorang dari kalian hendak melakukan sholat maka sholatlah dengan menghadap sutroh dan mendekatlah ke sutroh itu.”[1] [HR. Abu Daud dengan sanad jayid]

Dan juga berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Juhaifahradhiyallahu’anhu,

أن النبي صلى الله عليه وسلم ركزت له العنزة فتقدم وصلى الظهر ركعتين يمر بين يديه الحمار والكلب لا يمنع

“Bawasannya telah ditancapkan tongkat untuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, lalu beliau maju dan melakukan shalat zhuhur dua raka’at (yakni dalam safar, pen), lewat keledai dan anjing di depan beliau, tidak ditahan.”[2]

Dan hadits riwayat Muslim dari Tholhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل ولا يبال من مر وراء ذلك

“Apabila seseorang dari kalian meletakkan di depannya (sutroh yang tingginya) seperti belakang tunggangan maka hendaklah ia melakukan shalat dan tidak usah peduli siapa yang lewat di belakang sutroh itu.”[3]

Dan disunnahkan untuk mendekat kepada sutroh tersebut berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas. Dan sungguh para sahabat dahulu berlomba-lomba mencari tiang-tiang masjid untuk melakukan sholat sunnah dengan menghadap kepadanya, hal itu mereka lakukan di masjid ketika mukim bukan ketika safar. Akan tetapi tidak diketahui dari para sahabat bahwa mereka meletakkan di depan mereka; papan-papan yang terbuat dari kayu sebagai sutroh dalam sholat di masjid, tetapi mereka melakukan sholat dengan menghadap dinding masjid dan tiang-tiangnya. Maka hendaklah tidak takalluf (berlebih-lebihan) dalam hal ini, sebab syari’at itu mudah, tidak ada yang mempersulit agama ini kecuali dia akan dikalahkan.

Dan juga karena perintah sholat dengan menggunakan sutroh hukumnya istihbab(sunnah), tidak wajib. Karena terdapat hadits (yang memalingkan dari hukum asal wajib,pen),

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس بمنى إلى غير جدار

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat mengimami manusia di Mina tanpa menghadap ke dinding (sutroh).[4]

Dan tidak disebutkan dalam hadits ini beliau menggunakan sutroh. Dan juga berdasarkan hadits riwayat Al-Imam Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,

صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في فضاء وليس بين يديه شيء

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sholat di tanah lapang, dan tidak ada apapun di depan beliau (sebagai sutroh).”[5]

Hanya Allah ta’ala yang memberikan taufiq, serta shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa [Ketua: Asy-Syaikh Abdulm Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdur Rozzaq ‘Afifi. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayan. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud]

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 7/76-77]

Link: http://www.alifta.net/fatawa/fatawachapters.aspx?View=Page&PageID=2247&PageNo=1&BookID=3

Hukum Berjalan dalam Sholat untuk Mencari Sutroh

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah ditanya,

أرى البعض من الشباب إذا سلم الإمام من الصلاة وبقي على هذا الشاب بعض الركعات فإنه يتقدم بعض الخطوات إلى الأمام؛ لكي يمنع المارين عن المصلين الآخرين، فهل فعله هذا صحيح، وهل خطواته تلك تبطل الصلاة؟

لا يضره إن شاء الله، خطوات يسيرة حتى يمر الناس من وراءه لا يضره ذلك إن شاء الله إن كان بقي عليه صلاة قضى، لكن كونه يبقى في مكانه ويصلي في مكانه الحمد لله، أولى من التقدم

Pertanyaan: Aku melihat sebagian pemuda apabila imam telah salam dari sholat, sedang pemuda ini masih harus melakukan beberapa raka’at (karena masbuk) lalu ia maju beberapa langkah ke depan, ke arah imam; agar dapat menahan orang-orang yang lewat di depan orang-orang yang sedang melakukan sholat, maka apakah perbuatannya ini benar, dan apakah langkah-langkah majunya itu membatalkan sholat?

Jawaban: Perbuatan yang dia lakukan tidak membahayakannya (yakni tidak membatalkan sholatnya, pen) insya Allah. Sekedar langkah-langkah ringan hingga manusia dapat lewat di belakangnya tidaklah membahayakannya insya Allah apabila memang masih tersisa beberapa raka’at yang harus ia tunaikan. Akan tetapi keadaannya tetap di tempatnya dan terus melakukan sholat di tempatnya –alhamdulillah- lebih utama dibanding maju ke depan.

[Fatawa Nurun ‘alad Darbi, dapat diunduh pada linkhttp://www.binbaz.org.sa/mat/14420]

Link audio: http://www.binbaz.org.sa/audio/noor/029319.mp3

Download Kajian: Hukum Sutroh lebih detail pada Pelajaran Fiqh di Ma’had An-Nur Al-Atsari Banjarsari Ciamis, Jawa Barat Indonesia.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم


[1] HR. Malik, 1/154, Al-Bukhari, 1/480-481 pada Sutroh Al-MusholliBab Yaruddul Musholli man Marro bayna Yadaihi, Muslim, no. 505, Abu Daud, no. 697 dan An-Nasai, 2/66.

[2] HR. Al-Bukhari, 1/475, Muslim, no. 503, Abu Daud, no. 688 dan An-Nasai, 1/87.

[3]  HR. Muslim, no. 499, Abu Daud, no. 687 dan At-Tirmidzi, no. 335.

[4] HR. Al-Bukhari, 1/27, 126, 209, Muslim 1/361 no. 504 (dan tidak ada dalam riwayat muslim lafaz, “Tanpa menghadap ke dinding”) dan Al-Baihaqi, 2/273.

[5] HR. Ahmad, 1/224, Abu Daud, 1/459 no. 718 dan Al-Baihaqi, 2/273, 278.

Sumber Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray

DOWNLOAD AUDIO MP3 : Hakikat Musibah, Sebab dan Solusinya [Khutbah Jum’at]

بسم الله الرحمن الرحيم

Hakikat Musibah, Sebab dan Solusinya

[Khutbah Jum’at]

 

Download: Hakikat Musibah, Sebab dan Solusinya [Khutbah Jum’at]

Disampaikan pada Khutbah Jum’atMuharram 1432 H di Masjid Fastabiqul Khairat Komo Luar Manado, Sulawesi Utara.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sumber Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray

Fiqih Ringkas I’tikaf (1)

Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1]. Ada juga yang mendefinisikannya dengan:

حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].

Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf  dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:

الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4].

Dalil Pensyari’atan

I’tikaf  disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

a. Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan

ibadah.[5]

 

Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[8]

b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[9]

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]

 

Hukum I’tikaf

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[11]

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]

‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]

 

Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?

Jawab:

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:

  • Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
  • Firman Allah ta’ala,كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ

    “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).

  • dan firman-Nya,فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا

    “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
    Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.

  • Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.[16]

Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
  • Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ

    “Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:

  • Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.
  • Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
  • Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.
  • Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.

Hikmah I’tikaf

Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau mengatakan, Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.

(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.

(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.

Waktu I’tikaf

Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]

b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]

c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]

Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[24]

Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.

Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.

 

-bersambung insya Allah-


[1] Mukhtar ash-Shihhah 1/467.

[2] Al Mishbah al Munir 2/424.

[3] Fiqh al-I’tikaf hal.24.

[4] Syarh Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm. 5.

[5] Fiqh al-I’tikaf hal. 31

[6] HR. Bukhari dan Muslim

[7] HR. Bukhari dan Muslim

[8] Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.

[9] Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah

[10] Fath al-Baari 4/271

[11] HR. Muslim: 1167.

[12] HR. Bukhari: 6318.

[13] HR. Bukhari: 1927.

[14] Fath al-Baari 4/271

[15] Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan melihat Fiqh al-Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan yang lebih luas.

[16] HR. Bukhari: 1940.

[17] HR. Ibnu Khuzaimah: 2224.

[18] HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445

[19] Zaad al-Ma’ad 2/82.

[20] Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.

[21] HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.

[22] HR. Bukhari: 1927.

[23] HR. Ahmad: 12036.

[24] HR. Ahmad: 21314.

Penulis: M. Nur Ichwan Muslim

SUMBER : http://muslim.or.id